Pejabat Eksekutif Yuan dalam konferensi pers yang digelar pada hari Senin (28/12/2020) meminta instansi pemerintah terkait untuk mengambil langkah konkret untuk memastikan bayi tanpa dokumen yang lahir dari pekerja migran di Taiwan menerima perawatan yang lebih baik.
Selama tur inspeksi Eksekutif Yuan, Chi Hui-jung, seorang anggota pengawas lembaga pemerintahan Taiwan mengatakan menurut temuannya, antara tanggal 1 Januari 2007 hingga 30 Juni 2020, total terdapat sebanyak 933 bayi yang lahir dari pekerja migran kaburan yang secara ilegal meninggalkan tempat kerja resmi mereka di Taiwan.
Hingga saat ini, Chi menambahkan masih terdapat sebanyak 240 pekerja migran ilegal yang masih belum ditemukan.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak yang diatur oleh Lembaga United Nations ‘Convention on the Rights of the Child (CRC) dan Taiwan’s Protection of Children and Youth Welfare and Rights Act, anak-anak harus didaftarkan segera setelah lahir, terlepas dari status hukum orang tua mereka.
Namun, banyak pekerja migran memilih untuk tidak mendaftarkan atau melaporkan anak-anak mereka karena mereka takut akan dipecat oleh majikan jika ditemukan dalam kondisi hamil, meskipun undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Taiwan saat ini melarang majikan untuk memutuskan kontrak secara sepihak karena pekerja migran yang mereka pekerjakan hamil.
Bagi buruh migran yang hamil, terutama yang merawat orang tua atau lansia, biasanya segera diberhentikan, kata Chi.
Ia juga menambahkan bahwa beberapa pekerja migran bahkan dipaksa membayar biaya untuk pemutusan kontrak mereka secara dini ke perusahaan agensi karena ketahuan hamil, mengutip penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat Eksekutif Yuan.
Anak-anak pekerja migran harus terdaftar untuk mendapatkan izin tinggal dan dengan demikian akses untuk layanan pemerintah seperti perawatan kesehatan dan pendidikan juga akan didapatkan.
Chi menjelaskan tanpa pendaftaran, orang tua migran tidak dapat mengajukan semua jenis subsidi pemerintah atas bayi yang dilahirkan di Taiwan.
Menurut Chi, 78 persen pekerja migran perempuan di Taiwan berada dalam usia subur. Dari 720.000 pekerja migran asal Indonesia, sebanyak 383.296 orang atau 54,7 persen diantaranya adalah tenaga kerja wanita (TKW).
Namun, tidak ada satupun pekerja migran yang pernah mengajukan cuti melahirkan atau mengajukan kasus salah pemecatan akibat hamil ke Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan, katanya.
Selain itu, meskipun pemerintah Taiwan telah memperkenalkan hotline 1955 bagi orang tua migran untuk mengajukan keluhan diskriminasi kehamilan, hanya 20 pekerja migran yang melaporkan kecurangan yang dialami dari periode Januari 2007 hingga Juni 2020, kata Chi.
Chi menambahkan bahwa pada akhirnya semua kasus tersebut dibatalkan usai penyelidikan lanjutan.
Chi meminta otoritas pemerintah Taiwan, termasuk Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan (MOHW) Taiwan, Badan Imigrasi Nasional (NIA) Taiwan dan MOL Taiwan untuk menegakkan undang-undang terkait untuk memastikan tidak ada pekerja migran yang dipaksa meninggalkan pekerjaan mereka karena hamil.
Chi juga mendesak pemerintah Taiwan untuk lebih memperhatikan anak-anak yang lahir dari pekerja migran, termasuk hak mereka untuk mendapatkan perawatan medis, kesejahteraan sosial dan mendapatkan pendidikan yang layak di negeri Formosa.
Sumber : CNANews
Berita Terkait
GANAS: PMA harus berani lapor jika dapat perlakuan tidak pantas dari majikan
WDA: PMA hanya boleh kirim uang lewat lembaga remitansi resmi untuk hindari penipuan
Taifun Gaemi sebabkan 10 kematian, 2 hilang, dan 904 orang terluka di Taiwan