Akhir-akhir ini, berita mengenai kaburnya teman sekamar pekerja migran Indonesia dan Vietnam yang merupakan kasus COVID-19 ke-688 menimbulkan kecemasan di tengah warga masyarakat Taiwan.
Meski pekerja migran yang kabur tersebut telah ditangkap namun kini kondisi asrama pekerja migran di Taiwan marak disorot media lokal Taiwan karena dikhawatirkan dapat berpotensi menjadi cluster baru penyebaran wabah COVID-19.
Berita ini juga kembali membuat pekerja migran dianggap sebagai “celah dalam pencegahan pandemi” yang harus ditinjau lebih lanjut oleh otoritas Taiwan.
Sebenarnya yang menjadi celah dalam pencegahan pandemi bukanlah pekerja migran sendiri, melainkan asrama pekerja migran yang bagaikan “kamp konsentrasi” dengan lingkungan yang buruk.
Meski telah diprotes selama bertahun-tahun oleh organisasi buruh, situasi ini tidak juga kunjung diperbaiki dan hingga masa pandemi COVID-19 hal ini barulah mendapat perhatian.
Pada umumnya setelah pekerja migran tiba di Taiwan mereka akan dibawa ke sebuah asrama sementara untuk tinggal selama 1-2 hari.
Setelah selesai cek kesehatan dan melaporkan diri, barulah mereka akan dibawa ke tempat agen atau majikan untuk mulai bekerja.
Menurut Asosiasi Buruh Internasional Taiwan, biasanya asrama sementara untuk pekerja migran memiliki lingkungan yang buruk, tingkat kebersihannya juga tidak baik.
Sekelompok pekerja migran yang datang dari negara yang berbeda melalui agen yang berbeda semuanya hanya bisa berdesakan di ruangan yang sama, tidur di lantai dan menggunakan toilet yang kotor dan bau.
Seorang pekerja migan bercerita, saat malam hari di dalam asrama sangatlah gelap dan juga tidak ada selimut untuk tidur.
Ada pekerja migran yang mendapat makanan atau roti dari agen, namun ada juga yang tidak mendapat apa-apa.
Lalu ada juga pekerja migran yang mengatakan bahwa rumah yang menampung pekerja migran tidak memiliki perabotan apa-apa dan semuanya tidur berdesakan di lantai dengan menggunakan kantong tidur.
Dalam satu gedung terdapat seratus orang lebih. Ruangannya sempit dan pengap, bahkan ada orang yang terpaksa harus tidur di depan WC.
Tidak sedikit pekerja migran yang mengatakan bahwa pengalaman tinggal di asrama pekerja migran membuat mereka ketakutan, bahkan ada yang meneteskan air mata ketika mengenang pengalaman pahit itu.
Ada pekerja migran yang mengatakan bahwa ia merasa dicurangi pihak agensi. Ia berkata, “setelah membayar biaya agen sebesar NT$ 80.000, mereka membiarkan kami tinggal di tempat seperti itu, benar-benar tidak adil!”
Saat ini setelah tiba di Taiwan PMI harus menjalani karantina terpusat. Bila hasil tes sebelum masa karantina berakhir adalah negatif, maka akan memasuki masa karantina mandiri selama 7 hari.
Dalam kasus penularan kali ini, pekerja migran tinggal di asrama Taoyuan untuk menjalani karantina mandiri di bawah pengaturan perusahaan manajemen rumah sakit.
Namun situasi asrama pekerja migran yang buruk dimana mereka harus tidur bersama 47 pekerja migran lainnya dan hanya menggunakan 1 kamar mandi telah menjadi celah dalam pencegahan pandemi corona.
Organisasi buruh di Taiwan mengatakan bahwa sebelumnya pekerja migran telah lama bersabar menghadapi lingkungan yang buruk itu dan juga tidak ada orang yang memperhatikannya.
Kini setelah menjadi celah pencegahan pandemi dan membahayakan nyawa warga Taiwan, barulah kondisi tersebut mendapat perhatian.
Mereka meminta pemerintah Taiwan untuk segera mengadakan penyelidikan serta menyelesaikan masalah asrama pekerja migran secara menyeluruh dan jangan hanya menganggapnya sebagai bahaya sesaat dalam masa pencegahan pandemi COVID-19.
Sumber : 東森新聞 CH51, 三立LIVE新聞,公視新聞網, Now News, Yahoo News
Berita Terkait
GANAS: PMA harus berani lapor jika dapat perlakuan tidak pantas dari majikan
WDA: PMA hanya boleh kirim uang lewat lembaga remitansi resmi untuk hindari penipuan
Taifun Gaemi sebabkan 10 kematian, 2 hilang, dan 904 orang terluka di Taiwan