Kombinasi obat anticovid-19 yang dilakukan Universitas Airlangga (Unair) bersama TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) saat ini menjadi perhatian banyak orang. Ini merupakan angin segar dan harapan yang dinanti-nanti banyak orang. Namun, benarkah kombinasi obat anticovid-19 ini ampuh melawan Covid-19 dan bagaimana pendapat ahli?
Sebelumnya, mari kita ketahui dulu obat apa saja yang dikombinasikan oleh tim Unair ini sebagaimana tertulis di paparan yang tayang di laman resmi berikut: https://tniad.mil.id/
Obat-obatan yang diteliti meliputi Azithromycin, Chloroquine, Hydroxychloroquine, Clarithromycin, Doxycycline, Lopinavir Ritonavir, Favipiravir, dan kombinasinya.
Untuk diketahui, obat-obatan di atas merupakan obat yang sudah tersedia dan digunakan untuk pasien HIV, malaria, dan penyakit lain. Peneliti yang terlibat dalam penelitian ini salah satunya adalah Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (Unair) Dr. dr. Purwati, SPpd. Kompas.com pun meminta tanggapan ahli biologi molekuler independen, Ahmad Utomo terkait obat ini.
Sebelumnya perlu diketahui, pendapat Ahmad berdasar paparan yang ada di dalam laman resmi TNI AD tersebut. Pasalnya, hingga kini belum ada data resmi yang dikeluarkan pihak Unair untuk dapat dikaji ulang oleh ilmuwan lain atau laporan peer-review.
“Saya dan teman-teman (ilmuwan) semalam sempat membahas ini. Ada semacam konsepsus, teman-teman (ilmuwan) dalam tanda kutip tidak berkomentar banyak. Karena kalau kita lihat dari datanya itu memang tidak lazim,” kata Ahmad saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (16/8/2020).
Dari sosok penelitinya, Ahmad mengatakan bahwa Purwati merupakan dokter yang mumpuni di bidang stem cell. Tertulis dalam paparannya, pada awalnya tim melakukan studi sel dengan menggunakan sel vero 60 persen. Dikatakan Ahmad, sel vero merupakan sel standar untuk pengujian obat. Namun perlu diketahui, paper terbaru yang terbit di jurnal Nature bulan Juli mengatakan bahwa sel vero tidak cocok untuk uji obat Covid-19.
“Jadi sel vero itu sangat sensitif dan dia (sel vero) gampang mati dengan SARS-CoV-2,” kata Ahmad. “Sehingga saat diberi obat-obatan seperti hidroksiklorokuin, seakan-akan bisa menyelamatkan sel ini. Tapi ternyata sekarang kita tahu bahwa hidroksiklorokuin dari segala aspek tidak bermanfaat untuk pasien Covid-19,” paparnya.
Ahmad melanjutkan, tim peneliti dari Inggris telah meneliti lebih lanjut sel vero terhadap Covid-19. Dari riset yang dilakukan, diketahui bahwa sel vero tidak cocok dengan Covid-19. “Sel vero itu bukan sel dari manusia, tapi dari kera. Nah ketika selanjutnya (peneliti) menggunakan sel paru manusia, jelas sekali dikatakan di jurnal Nature bahwa hidroksiklorokuin tidak bisa menghambat replikasi virus SARS-CoV-2,” jelasnya.
Dari laporan studi terbaru tersebut, kini para ilmuwan tahu kenapa dalam uji klinis pemberian hidroksiklorokuin tidak bermanfaat. Selain itu, obat lopinavir/ritonavir dikatakan Ahmad juga tidak ada manfaatnya untuk pasien Covid-19. “Tapi okelah, mungkin mereka memiliki pemikiran sedikit berbeda, mungkin kontribusi mereka itu kombinasi (obat). Meskipun lopinavir/ritonavir tidak ada manfaatnya, hidroksiklorokuin tidak ada manfaatnya, tapi mungkin mereka pikir gimana kalau (obat) itu kita kombinasi,” ujar Ahmad.
Setelah dilakukan uji sel, peneliti Unair melakukan uji klinik atau uji kepada manusia. Berkaitan dengan uji klinis, penelitian ini sudah mendapat nomor kaji etik atau persetujuan laik etik dengan No 159/KEP/2020 dari KEPK RSUA. Artinya, penelitian ini sudah dikomunikasikan dengan komisi etik karena menyangkut manusia. Hal ini sudah mengikuti prosedur penelitian yang berlaku. Pada bagian prosedur penelitian, tujuan uji klinik ini ingin menghitung jumlah pasien yang berkembang dari kasus ringan ke kasus sedang-berat.
Kemudian peneliti juga ingin menghitung lama rawat inap pasien dan kalkulasi jumlah pasien yang meninggal, untuk kasus sedang-berat. Di mana sebelumnya, tim peneliti jug mengukur sitokin atau zat yang menimbulkan radang dan meninjau perbaikan klinis pasien. “Nah pada bagian hasil penelitian, ini yang kami sebut tidak lazim,” kata Ahmad.
Hal ini dikarenakan, peneliti hanya menuliskan simbol dalam kelompok perlakuan sebagai grup SoC, A, B, C, D, dan E, tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa saja yang termasuk dalam kelompok tersebut, berapa usianya, jenis kelaminnya apa, bagaimana kondisi kesehatannya, riwayat penyakit bawaan, dan sebagainya.
Selain itu, tim hanya menuliskan jumlah subyek di masing-masing kelompok. Padahal dikatakan Ahmad, ketika suatu data sudah ditayangkan untuk umum seperti ini, tidak boleh hanya ditulis A, B, C, D, E, dan sebagainya. “Masalah kami, ini tidak lazim dalam penyampaian data,” ungkap Ahmad. Ahmad menjelaskan, responden yang dimasukkan ke dalam suatu kelompok harus jelas siapa saja dan komposisinya sama. Jika data yang dipaparkan hanya menunjukkan jumlah, sulit untuk mengetahui siapa saja pasien di dalamnya.
“Nah, kita enggak tahu proporsi di masing-masing kelompok sama atau enggak. Karena enggak fair kalau misalnya suatu kelompok berusia tua semua. Kalau hasilnya jelek, terang saja karena di (kelompok) situ banyak orang-orang tua,” ungkapnya.
Selain umur, riwayat komorbit atau penyakit bawaan juga dapat memengaruhi hasil. Namun, di paparan tersebut tidak dijelaskan juga riwayat komorbitnya. “Jadi saya bisa katakan, ini tidak lazim atau ada hal yang belum ditampilkan semuanya,” ungkapnya. Oleh sebab itu, Ahmad dan peneliti lain mendorong agar demografi penelitian ini disampaikan secara terbuka.
Sumber : metrotvnews, Kompas
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’