Dalam konferensi pers yang digelar pada hari Selasa (26/05/2020), Pusat Komando Epidemi (CECC) Taiwan mengatakan bahwa mengobati pasien COVID-19 di Taiwan dengan hydroxychloroquine, obat yang biasa digunakan untuk mengobati penyakit malaria, dinilai belum berhasil meningkatkan waktu pemulihan pasien corona.
Oleh karena itu, mengingat kegunaannya yang terbatas dan efek samping yang potensial dari obat tersebut, CECC Taiwan sedang mendiskusikan apakah akan mengeluarkan hydroxychloroquine dari pedoman pengobatan COVID-19 di negeri Formosa, ungkap dewan penasihat CECC Taiwan, Chang Shan-chwen.
Pasien COVID-19 di Taiwan yang diobati secara eksklusif dengan klorokuin, obat anti-malaria lainnya dinyatakan sembuh setelah pengobatan yang memakan waktu selama 19 hari, kata Chang.
Pasien yang menggunakan kombinasi chloroquine, hydroxychloroquine dan antibiotik lainnya dinyatakan sembuh atau negatif corona setelah 21 hari.
Sedangkan pasien COVID-19 di Taiwan yang menggunakan jenis obat lain dinyatakan negatif corona setelah pengobatan hampir 23 hari, kata Chang.
Hal ini menunjukkan bahwa hydroxychloroquine tidak terlalu berguna dalam mempercepat pemulihan pasien dari penyakit mematikan ini, kata Chang.
Obat itu awalnya dimasukkan dalam pedoman pengobatan CECC Taiwan setelah sebuah penelitian di Perancis menunjukkan hasil yang menjanjikan, ungkap Chang.
Chang menekankan bahwa pedoman pengobatan pasien corona selalu mencatat kurangnya bukti klinis mengenai kemanjuran obat tersebut dalam mengobati pasien COVID-19.
Hydroxychloroquine telah berulang kali dipuji-puji oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sebagai pengobatan yang ampuh bagi pasien COVID-19.
Trump bahkan mengaku telah meminumnya sendiri, meskipun berbagai penelitian tentang hydroxychloroquine tidak memberikan bukti efektivitas dari obat tersebut terhadap pengobatan pasien COVID-19.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus tweeted dalam konferensi pers pada hari Senin (25/05) mengatakan bahwa WHO telah menangguhkan penggunaan obat hydroxychloroquine dalam uji coba terhadap pasien COVID-19 di seluruh dunia sambil menunggu tinjauan lebih lanjut.
Keputusan itu dibuat setelah sebuah studi baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa penggunaan hydroxychloroquine pada pasien COVID-19 tidak hanya tidak membantu pemulihan pasien tetapi sebenarnya terkait dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi di rumah sakit dan detak jantung yang tidak normal dari pasien corona, kata Tedros.
Studi yang didasarkan pada analisis 96.032 pasien COVID-19 di 671 rumah sakit di seluruh dunia itu diterbitkan di Lancet pada tanggal 22 Mei 2020.
Pejabat WHO akan meninjau data yang sejauh ini dikumpulkan dalam uji coba “untuk mengevaluasi secara memadai potensi manfaat dan bahaya dari obat hydroxychloroquine ini,” sebelum memutuskan apakah akan melanjutkan penggunaannya untuk mengobati pasien corona, kata Tedros.
Sumber : 新唐人亞太電視台NTDAPTV ,UDNNews, CNANews, TVBS NEWS
Berita Terkait
Ini Tata Cara Registrasi IMEI Untuk Ponsel Yang Dibeli di Taiwan dan Hendak Diaktifkan di Indonesia
Viral, Twit Putar Lagu Stray Kids “Miroh” Bisa Perbaiki Speaker HP Kemasukan Air, Benarkah?
Filter Anime TikTok Bisa ‘Foto Hantu’, Ini Kata Pakar