Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tewas ditembak oleh aparat keamanan di Myanmar. Dia menjadi korban termuda yang diketahui dalam tindakan keras aparat terhadap pengunjuk rasa menyusul kudeta militer bulan lalu, menurut warga setempat.
Identitas sang anak diketahui sebagai Khin Myo Chit. Keluarganya mengatakan kepada BBC bahwa Khin dibunuh oleh polisi saat berlari menuju ayahnya di tengah penggerebekan di rumah mereka di kota Mandalay.
Myanmar dilanda gelombang unjuk rasa sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari. Kelompok hak asasi Save the Children mengatakan lebih dari 20 anak termasuk dalam puluhan orang yang telah meninggal.
Secara total, militer mengatakan 164 orang telah tewas dalam unjuk rasa, sedangkan kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP) menyebutkan jumlah korban tewas sedikitnya 261.
Sebelumnya, militer pada Selasa (24/03) menyatakan kesedihan atas kematian para pengunjuk rasa, tetapi menyalahkan mereka karena membuat anarki di negara itu.
Tetapi pasukan keamanan telah menggunakan senjata api untuk melawan pengunjuk rasa, dan ada sejumlah laporan saksi mata tentang orang-orang yang dipukuli dan beberapa yang ditembak ketika militer melakukan penggerebekan rumah untuk menangkap aktivis dan pengunjuk rasa.
Kakak perempuan Khin Myo Chit mengatakan kepada BBC bahwa polisi ketika itu sedang menggeledah semua rumah di lingkungan mereka di Mandalay pada Selasa (23/03) sore. Polisi akhirnya memasuki rumah mereka untuk mencari senjata dan melakukan penangkapan.
“Mereka menendang pintu untuk membukanya,” kata May Thu Sumaya, 25 tahun. “Ketika pintunya terbuka, mereka bertanya kepada ayah saya, apakah ada orang lain di rumah itu?”
Ketika dia mengatakan tidak, mereka menuduhnya berbohong dan mulai menggeledah rumah, kata May.
Saat itulah Khin Myo Chit berlari ke arah ayah mereka untuk duduk di pangkuannya. “Kemudian mereka menembak dan memukulnya,” kata May Thu Sumaya.
Dalam wawancara terpisah dengan media komunitas Myanmar Muslim Media, ayah mereka, U Maung Ko Hashin Bai, menjelaskan kata-kata terakhir putrinya itu. “Dia berkata, ‘Aku tidak tahan, Ayah, sakit sekali’.”
Dia mengatakan putrinya meninggal setengah jam kemudian ketika dia dilarikan dengan mobil untuk mencari perawatan medis. Polisi juga memukuli dan menangkap putranya yang berusia 19 tahun.
Militer belum mengomentari laporan tersebut.
Dalam pernyataan pers, Save the Children mengatakan mereka merasa “ngeri” dengan kematian anak gadis itu, yang terjadi sehari setelah seorang remaja laki-laki berusia 14 tahun dilaporkan tewas ditembak di Mandalay.
“Kematian anak-anak ini sangat memprihatinkan, mengingat mereka dilaporkan dibunuh saat berada di rumah, tempat mereka seharusnya aman dari bahaya.
“Fakta bahwa begitu banyak anak tewas hampir setiap hari sekarang menunjukkan pengabaian sama sekali terhadap nyawa manusia oleh pasukan keamanan,” kata organisasi itu.
Protesters take cover behind barricades during a demonstration against the military coup in Mandalay, Myanmar March 21, 2021.
Sementara itu pada hari Rabu, pihak berwenang membebaskan sekitar 600 tahanan yang ditahan di sebuah penjara di Yangon, banyak dari mereka adalah mahasiswa. AAPP mengatakan setidaknya 2.000 orang telah ditangkap dalam tindakan keras sejauh ini.
Para pengunjuk rasa telah merencanakan pemogokan diam-diam dimana banyak bisnis ditutup dan orang-orang tinggal di rumah. Ada juga rencana untuk menyelenggarakan lebih banyak acara untuk memperingati dan menyalakan lilin pada malam hari, baik di Yangon maupun di tempat lain.
Sumber : The Telegraph, DW News, BBC News
Berita Terkait
Wabah Pneumonia di China: Rumah Sakit Penuh
Topan Khanun Tiba, Warga Korea Utara Diminta Utamakan Jaga Foto Kim Jong Un
Taiwan Mempertimbangkan Untuk Mempekerjakan Lebih Banyak Pekerja Filipina Sampai Menawarkan Tempat Tinggal Permanen!