Sambil gemetar dan mencengkeram kausnya, tentara Myanmar Kyaw mengenang kekerasan yang katanya diperintahkan kelompok militer.
Dia diminta menyakiti orang-orang di komunitasnya sendiri, perintah inilah yang mendorong pelariannya ke India.
Kyaw, yang namanya telah diubah untuk melindungi identitasnya, termasuk di antara 40 warga negara Myanmar, kebanyakan petugas polisi, yang ditemui AFP.
Mereka bersembunyi di lokasi yang dirahasiakan di negara bagian Mizoram di wilayah timur laut India.
Setidaknya sebanyak 180 orang telah tewas di Myanmar sejak kudeta 1 Februari lalu, menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Junta telah menindak aksi demonstrasi yang menjunjung nilai-nilai demokrasi tanpa henti di seluruh negeri.
“Kekerasan itu menyebabkan lebih dari 300 warga Myanmar, banyak dari mereka petugas polisi dan keluarga mereka, serta dua personel militer, memasuki Mizoram,” kata seorang warga setempat yang membantu penyeberangan perbatasan kepada AFP, Senin (15/3/2021).
Kyaw, seorang pria bersenjata berusia 24 tahun. Dia telah bertugas di militer selama sekitar empat tahun.
Dia merupakan anggota kelompok Chin, sebagian besar minoritas penganut agama Kristen di Myanmar.
Kepada AFP, Kyaw mengaku telah diperintahkan untuk melakukan kekerasan mematikan di antar Chin.
“Militer memberi perintah untuk membunuh orang yang tidak bersalah, yang seperti ibu dan ayah saya sendiri,” katanya kepada AFP.
“Mengapa saya harus membunuh orang saya sendiri.” Dia mengatakan butuh empat hari untuk sampai ke Mizoram dengan sepeda motor dan berjalan kaki.
Setelah menelepon ke rumah ketika dia sampai di India, ayah dua anak itu mengatakan rumah keluarganya telah digeledah dan ayahnya ditangkap.
Seorang pria bersenjata yang diajak bicara AFP mengatakan dia juga mengkhawatirkan keselamatan keluarganya.
“Teman-teman saya menembak para pengunjuk rasa dan saya disuruh menembak juga … Tapi saya tidak bisa membunuh orang-orang saya. Jadi, saya melarikan diri pada malam hari,” kata pria berusia 21 tahun itu.
Sementara menurutnya gerombolan pembelot yang lain memerlukan waktu hingga 10 hari berjalan kaki untuk mencapai negara bagian yang terpencil dan bergunung-gunung di sepanjang perbatasan barat Myanmar, termasuk melalui sungai, sawah, dan tidur di hutan.
Mereka yang berhasil dijemput oleh penduduk setempat yang simpatik. Mereka dibantu sampai ke rumah kerabat atau tinggal bersama orang lain yang bersedia melindungi mereka dari pihak berwenang.
Tetapi delapan warga Myanmar telah “didorong mundur” kembali ke Myanmar, menurut pernyataan pekan lalu oleh Assam Rifles, pasukan paramiliter nasional yang beroperasi di wilayah tersebut.
AFP yang ditemui mengatakan mereka telah melarikan diri tanpa keluarga mereka karena perjalanannya sangat sulit. Hanya pakaian di punggung yang bisa mereka bawa.
Mereka mengandalkan penduduk setempat yang membawakan makanan, selimut, dan uang tunai.
Salah satu dari mereka memegang Alkitab berbahasa Burma, saat mereka duduk berdesakan di atas kasur dan tikar yang diletakkan di lantai sebuah bangunan yang sebagian dibangun.
Polisi wanita berusia dua puluh empat tahun, Chewa, yang namanya juga telah diubah, menangis ketika berbagi ceritanya.
Dia mengatakan tentara diberi perintah untuk menembak pengunjuk rasa. Polisi ditugaskan untuk memberikan keamanan ekstra.
“Padahal kami polisi, tapi kami tetap warga negara seperti rakyat. Saya tidak mau mendengarkan perintah seperti itu, dan saya tidak berani menembak,” ujarnya.
Chewa mengatakan dia tidak menyaksikan petugas polisi menembak warga sipil. Tetapi dia mengaku melihat para pemimpin protes di sebuah kota kecil di dataran tinggi terpencil negara bagian Chin ditangkap.
Chewa bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil, yang melibatkan puluhan ribu pegawai pemerintah di seluruh Myanmar. “Saya ingin demokrasi kembali,” katanya, suaranya tercekat karena emosi.
“Saya ingin komunitas internasional membantu negara kami … Saya adalah salah satu (perwira) tingkat rendah jadi saya tidak memiliki kekuatan untuk berbuat banyak jadi saya bergabung dengan (gerakan) – itu yang setidaknya bisa saya lakukan.” Dia mengaku mengkhawatirkan kesejahteraan keluarganya, karena dia adalah satu-satunya pencari nafkah.
Kyaw, Chewa dan petugas polisi lainnya menunjukkan kepada AFP kartu identitas militer atau polisi mereka untuk membuktikan identitas mereka. AFP tidak dapat memverifikasi klaim spesifik mereka secara independen.
Saat kelompok itu duduk dalam keheningan, sinar matahari mengalir melalui jendela yang terbuka, mereka mengangkat tangan kanan mereka untuk memberi hormat dengan tiga jari, gerakan yang diilhami oleh film “Hunger Games” dan digunakan oleh pengunjuk rasa.
“Saya belum mau pulang dulu ke Myanmar,” kata Kyaw, masih gemetar. “Saya seorang tentara, jadi saya tidak aman di sana jika saya kembali.”
Sumber : DW News,CNA, AFP
Berita Terkait
Wabah Pneumonia di China: Rumah Sakit Penuh
Topan Khanun Tiba, Warga Korea Utara Diminta Utamakan Jaga Foto Kim Jong Un
Taiwan Mempertimbangkan Untuk Mempekerjakan Lebih Banyak Pekerja Filipina Sampai Menawarkan Tempat Tinggal Permanen!