Kata-kata dari mulut suporter Arema FC atau Aremania, Eko Prianto (39 tahun) tiba-tiba terhenti saat bercerita tentang Tragedi Kanjuruhan.
Eko mulai mengusap matanya yang basah. Dengan terisak dia mengaku tak kuat menceritakan kejadian memilukan yang ada di depan matanya pada Sabtu (1/10) malam lalu.
Eko adalah salah satu dari sekian ribu suporter Arema yang menjadi saksi mengerikannya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pasca laga Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Eko mengatakan malam itu dia sengaja tak masuk ke stadion, meski tiket sudah di tangannya. Dia lebih memilih menemani kawannya yang tak punya tiket.
“Tanggal 1 Oktober, saya punya tiket, tapi saya tidak masuk. Saya ada di luar, saya dan teman saya cuma keliling di luar stadion,” kata Eko kepada CNNIndonesia.com di Malang, Senin (3/10).
Eko kemudian berkeliling untuk mengamati kondisi. Ia melihat banyak sekali aparat berjaga-jaga di sekitar Stadion Kanjuruhan.
Saat itu kondisi masih aman bahkan sampai peluit panjang akhir babak kedua dibunyikan. Namun tak berapa lama, Eko mengaku mendengar suara letupan gas air mata dari arah dalam.
“Setelah peluit dibunyikan masih keadaan kondusif. Saya berpikir, Alhamdulillah meskipun kalah Aremania mereka sudah dewasa. Tapi beberapa menit kemudianada suara seperti tembakan beberapa kali,” ujarnya.
la pun mendekat ke gerbang stadion, mencari tahu apa yang sedang terjadi.Ternyata yang ia dapati adalah gedoran dari arah dalam dilanjutkan teriak-teriakan minta tolong.
“Saya berada dekat gate 10, di situ pertama kali saya dengar ada suara gedor-gedor pintu, suara minta tolong, suara jeritan,” ucapnya.
la kemudian melihat seorang perempuan sudah tak sadarkan diri. Eko dan kawannya pun mengevakuasi perempuan tersebut ke tempat yang lebih aman.
“Pertama kali saya lihat ada perempuan sudah lemas, pingsan. Sama rekan-rekan ditolong. Setelah itu satu, dua, tiga, jumlah korban terus bertambah. Sayamenolong ada lima orang,” kata dia.
Eko kemudian melihat hal yang lebih parah di gate 13 dan 14. Di sana dia menyaksikan sendiri banyak perempuan dan anak-anak yang tergeletak. Posisinya bertumpukan.
Dia mencoba membuka paksa pintu gerbang gate 13, dengan segala cara. Tapi upayanya itu tak berhasil karena pintu hanya terbuka sebagian.
Di tengah cerita, Eko kemudian tak bisa meneruskan perkataannya. Tangisannya pecah, dia hanya bisa tertunduk.
“Di gate 13 di situlah titik semacam kuburan massal teman-teman saya, Aremania. Aku enggak kuat mas,” ujar Eko sambil terisak.
Setelah sedikit tenang, Eko melanjutkan ceritanya. la mengatakan dia kemudian mencari pertolongan ke aparat keamanan yang malam itu bertugas di Kanjuruhan untuk mengevakuasi korban yang bergeletakan. Tapi penolakan justru didapatkannya.
“Saya lari ke aparat keamanan, petugas dari TNI-Polri. Pertama saya minta tolong ke kepolisian. Mereka tidak mau, takut terjadi apa-apa,” ucapnya.
“Ke aparat yang pakai baju loreng, juga ditolak, saya malah mau dipukul sama beliau sambil bilang ‘temenku yo onok sing kenek cok,” tambah Eko.
Bagi Eko, peristiwa malam itu adalah kejadian paling buruk selama lebih dari hampir 30 tahun dia menjadi Aremania. “Ini kejadian paling buruk dan bukan yang pertama. Tapi saya minta kejadian, tragedi 1 Oktober ini, harus diusut tuntas,” pungkas dia.
Sementara itu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya ada 33 anak yang meninggal dunia dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Korban terdiri dari 8 anak perempuan dan 25 anak laki-laki.
“Tiga puluh tiga anak meninggal dunia (terdiri atas) delapan anak perempuan dan 25 anak laki-laki, dengan usia antara empat tahun sampai 17 tahun,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar dikutip dari Antara, Selasa (4/10).
Kementerian PPPA bersama Dinas PPPA Provinsi dan Kabupaten/Kota Malang masih terus berkoordinasi dan berupaya menyediakan data khusus anak yang menjadi korban. Data akan menjadi bahan pihak-pihak terkait melakukan intervensi layanan.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, berlangsung usai pertandingan antara Arema FC lawan Persebaya dengan skor akhir 2-3, pada Sabtu (1/10) malam.
Pendukung Arema yang tak terima klubnya kalah masuk ke area lapangan. Namun, polisi menembakkan gas air mata, sehingga penonton akhirnya berlari-larian hingga saling terinjak-injak menuju pintu keluar.
Polri menyatakan korban meninggal dalam peristiwa tragis itu mencapai 125 orang.
Namun, kelompok suporter Arema, Aremania memperkirakan jumlah korban jiwa tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, jauh melebihi data resmi pemerintah. Mereka pun membentuk tim pencari fakta untuk menggali data yang sebenarnya.
Salah satu perwakilan Aremania Dadang Indarto mengatakan dari temuan awal yang dimiliki organisasinya, jumlah korban meninggal dunia tragedi Stadion Kanjuruhan bisa lebih dari 200 orang.
“Kalau data yang dikeluarkan pemerintah sekarang 125 korban meninggal dunia, kami memperkirakan itu lebih. Kalau mejurut perkiraan kami di atas 200,” kata Dadang di Malang, Senin (3/10).
Dadang menyebut perkiraan angka itu adalah temuan awal setelah pihaknya mendapatkan informasi dari Aremania Malang Raya dan sekitarnya.
Sebagian korban yang meninggal, kata Dadang, ialah mereka yang langsung dibawa rekannya pulang ke daerah usai kejadian. Mereka tak sempat dibawa ke rumah sakit.
“Karena banyak jenazah yang langsung dibawa pulang. Di Probolinggo ada 7, di Pasuruan ada 3, bisa lebih,” ucapnya.
Kini Aremania pun membentuk tim independen pencari fakta, yang bertugas untuk mengumpulkan data kematian korban dari seluruh wilayah.
“Kami membentuk Tim Aremania Pencari Fakta, itu nantinya akan kami sinkronkan. Kami akan komunikasi antar daerah bukan hanya di Malang Raya saja. Dari Banyuwangi, Madiun, Pasuruan, Blitar, Kediri dan Jombang,” kata dia.
Ia pun meminta pemerintah transparan dalam menyampaikan data yang sebenarnya ke publik.
“Kami memaklumi kalau data [kematian] itu di-publish, maka ini bukan hanya kasus sepak bola Indonesia, tapi menunjukkan lemahnya negara melindungi rakyatnya,” pungkas dia.
Belum ada pernyataan dari pihak lain terkait pernyataan Aremania soal korban tersebut.
Sebelumnya Dinas Kesehatan Kabupaten Malang mengumumkan jumlah korban jiwa tragedi Kanjuruhan ada 125 orang. Korban luka berat 39 orang dan luka ringan 260 orang. Data resmi pemerintah pusat juga saat ini menyebutkan angka korban tewas sebanyak 125 orang. Sebelumnya disebutkan ada 127 atau 131 orang korban tewas. Belakangan disebutkan perbedaan angka itu karena ada nama ganda.
Ribuan suporter Persebaya Surabaya, Bonek, menggelar doa bersama di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (3/10) malam untuk korban Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10).
Mereka melantunkan doa dengan diiringi cahaya lautan lilin yang menyala.
Perwakilan Bonek mengatakan walaupun Bonek dan Aremania dikenal sebagai rival, namun ia ingin hal itu disingkirkan sementara dengan alasan nyawa tidak sebanding dengan sepak bola.
Mereka berharap tragedi ini merupakan yang terakhir dan tak lagi terulang di kemudian hari.
Sumber : CNN Indonesia
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’