Kak Seto dan Arist Merdeka Sirait disebut tengah berseteru. Gara-garanya, dua pencinta anak itu berbeda pendapat soal jalannya proses peradilan dan kelembagaan.
Kak Seto dan Arist Merdeka Sirait adalah sosok sentral yang kerap membantu anak menyelesaikan masalah. Mereka mencari jalan keluar terbaik untuk anak.
Tak jarang mereka muncul, kebagian tugas menjaga masa depan anak-anak yang orang tuanya bercerai. Tapi kini ironisnya, Kak Seto dan Arist Merdeka Sirait berseteru gara-gara perkara yang melibatkan seorang anak.
Awalnya, Arist Merdeka Sirait keras mengkritik Kak Seto yang menjadi saksi di sebuah sidang dugaan pelecehan seksual. Kak Seto diketahui menjadi saksi untuk terdakwa Julianto Eka Putra, pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Batu, Malang, Jawa Timur.
Betapa kagetnya Arist Merdeka Sirait mendapati Kak Seto yang duduk di kursi saksi tersebut. Arist Merdeka Sirait juga adalah Tim Litigasi dan Advokasi Perkara Pelecehan Seksual di SMA SPI Batu.
Ia mengaku tak menyangka Kak Seto yang selama ini dinilai sebagai sahabat anak-anak berada di barisan yang sama dengan terdakwa dugaan pelecehan seksual yang korbannya adalah anak-anak.
Kebetulan, selain sebagai Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait juga adalah Tim Litigasi dan Advokasi Perkara Pelecehan Seksual di SMA SPI Batu.
“Itu yang membuat saya marah. Kok bisa-bisanya orang yang bertahun-tahun mencitrakan dirinya pembela anak, tetapi untuk kasus predator kejahatan seksual dia berdiri di situ untuk jadi saksi meringankan dan membela predator kejahatan seksual,” ujar Arist di tayangan sebuah kanal YouTube.
Tak terima dengan tudingan itu, Kak Seto sebagai Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menolak dirinya disebut membela terdakwa.
“Bahkan kami mendesak, bila memang terbukti di sidang pengadilan terdakwa melakukan kejahatan seksual, maka berikan hukuman setinggi-tingginya,” jelas Kak Seto dalam sebuah wawancara dengan media secara daring.
Dalam persidangan itu, Kak Seto mengaku mendapat pertanyaan dari pengacara terdakwa. Ia diminta untuk menjelaskan perbedaan antara LPAI, KPAI dan Komnas Anak.
“Akhirnya saya minta izin kepada hakim karena saya sebagai ahli, bukan sebagai saksi dan nggak ada istilah saksi ahli. Dan ahli itu bisa didatangkan dari pihak terdakwa, dari pihak korban bisa, dari JPU juga bisa,” tuturnya.
“Nggak pernah ada nama Komnas Anak lagi, itu nama kami yang lama LPAI ini. Kan sejarahnya dia sudah dipecat dari Komnas Anak karena segala kekeliruannya, tapi dia ngotot nggak mau. Akhirnya dia nggak mau diturunkan, dia ngotot,” tambah Kak Seto kepada detikcom.
Menurut Kak Seto, Arist Merdeka Sirait merupakan ketua di periode keempat, setelah dirinya tiga periode berturut-turut menjadi ketua di lembaga bernama Komnas Anak. Kala itu, Kak Seto mengaku ingin menyerahkan kepada sosok yang lebih muda.
“Dan nama dia yang tercatat di LPAP itu. Makanya itu saya anggap kebohongan publik. Selalu di mana-mana bilang Komnas Anak, komisi itu kan lembaga negara, sampai banyak orang salah paham,” tegasnya.
“Intinya sama sekali tidak benar (tudingan mendukung terdakwa JE). Dia tidak tahu masalahnya, dia meledak marah-marah, dia menuduh-nuduh. Tapi ya sudah, dia junior saya kan. Artinya dia melanjutkan saya menjadi ketua Komnas Anak. Yang memberikan nama juga saya itu jadi nama populer, tapi begitu ada Komisi Perlindungan Anak atau KPAI sebagai lembaga negara, akhirnya kami melalui proses kembali ke LPAI,” tuturnya.
Perselisihan keduanya pun makin panas setelah Kak Seto dengan tegas menyebutkan jika komnas yang diketuai oleh Arist Merdeka Sirait saat ini ilegal.
Menurutnya, ia sudah mengembalikan penamaan menjadi LPAI.
“Sejarah komnas itu kan tetap yang dikawal oleh LPA Indonesia gitu. Sementara dia, ya terus dengan nama itu karena populer namanya dan bisa seolah kayak negara, sehingga ya tahulah berbagai penyimpangannya. Tapi, ya itu masalah lain ya,” tegasnya.
Sementara itu Samsul Ridwan sebagai Wakil Ketua Umum LPAI yang juga hadir dalam persidangan kasus tersebut. Ia menilai kehadiran Kak Seto sebagai ahli.
“Bukan sebagai saksi, bukan pula sebagai saksi ahli. Ahli sama sekali tidak ada kepentingan untuk meringankan atau pun memberatkan siapa pun,” kata Samsul Ridwan
Sumber : Detik Hot
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’