Suasana bulan Ramadhan begitu kental terasa di tanah air. Setiap tahunnya, bulan suci disambut dengan suka cita.
Sebut saja momen kehabisan sembako jelang Ramadhan, ngantre membeli takjil, atau semangat umat Islam pergi ibadah tarawih pada pekan-pekan awal, rasanya begitu akrab bagi kita.
Sayangnya, suasana meriah itu tak dirasakan oleh sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang tinggal di luar negeri dan menjalani bulan Ramadhan di negeri orang.
Seorang pelajar di sebuah Nihongo Gakko atau Sekolah Bahasa Jepang di Wakayama, Syahrul Fakhri mengaku dirinya dipaksa untuk lebih mandiri ketika harus berpuasa di negeri orang, dalam hal ini Jepang.
Menurutnya, di Wakayama tempatnya tinggal bahkan jauh dari masjid sehingga tidak ada azan sama sekali.
Ketika berpuasa, Syahrul harus mengandalkan alarm sebagai pengingat, terutama untuk jam sahur.
“Karena enggak ada suara azan, jadinya untuk melihat waktu sahur dan buka puasa mengandalkan alarm, soalnya enggak ada yang bangunin sahur,” kata Syahrul kepada Kompas.com, Minggu (09/04/2022).
Menurutnya, karena tak ada masjid di Wakayama, Syahrul kerap kali harus pergi ke Osaka untuk shalat di masjid. Sebab, secara umum masjid di Jepang hanya ada di kota-kota besar.
Begitu pula untuk menjalankan shalat tarawih, maka ia harus mencari masjid di kota besar.
“Soalnya terkait jarak. Aku di Wakayama enggak ada masjid, kalau mau shalat harus ke Osaka yang tentunya butuh biaya untuk ongkos ke sana,” sambungnya.
Tantangan puasa pada musim berbeda
Pria yang sudah satu tahun lebih tinggal di Jepang itu juga menceritakan tantangan berpuasa di Jepang pada musim yang berbeda.
Seperti diketahui, bulan Ramadhan tidak datang pada tanggal yang sama setiap tahunnya. Sehingga, di negara-negara empat musim, bulan Ramadhan kerap tiba di musim yang berbeda setiap tahunnya.
Saat musim dingin, waktu berbuka menjadi lebih cepat, sedangkan saat musim panas durasi puasa menjadi lebih lama.
Menurutnya, musim sangat memengaruhi pelaksanaan puasa di Jepang. Jika Ramadhan jatuh pada musim panas, misalnya, ibadah puasa menjadi relatif lebih berat.
“Bukan suhu udara, tapi lebih ke musimnya saja yang berpengaruh ke puasa. Kalau misalnya dapat puasa di musim panas ya siap-siap tenggorokan terasa kering terus,” ungkap Syahrul.
Meski tak semua orang Jepang menyadari ia sedang berpuasa, namun beberapa orang yang dikenalnya peduli bahwa Syahrul sedang berpuasa Ramadhan.
Beberapa di antaranya bahkan memberikan makanan untuk berbuka puasa.
Hanya saja, terkadang Syahrul hanya membatalkan puasa dengan minum air putih, terutama jika masih menjalani kerja part time atau “arubaito”.
Makanan halal menurutnya tak sulit didapatkan di sana. Sebab, ada beberapa toko halal dan konbini atau supermarket yang menyediakan makanan berlogo halal.
“Ya, kalau enggak ada logo halalnya asalkan jelas bahan dasarnya, ya aku makan saja. Asalkan bukan babi, alkohol, dan sebagainya,” kata Syahrul.
Sumber : Kompas
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’