Kabar mengejutkan diterima KBRI Kuala Lumpur baru-baru ini terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI). Putusan Pengadilan Kota Bahru, Kelantan membebaskan seorang majikan bernama DB dari tuntutan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) DB yang berasal dari Desa Bakuin Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama 9 (sembilan) tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu. Selain bekerja di rumah majikan, DB juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikan.
DB melarikan diri dari rumah majikan di Malaysia pada akhir Oktober 2020 karena tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan, pada 17 Januari 2022 Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
“Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun”, tegas Dubes Hermono dalam keterangan tertulis yang dimuat Liputan6.com Sabtu (19/2/2022).
KBRI Kuala Lumpur telah meminta Jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Melalui pengacaranya, majikan DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar. Namun tawaran tersebut ditolak DB dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan majikan.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DB di peradilan perdata. “Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan,” tegas Hermono.
Kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga disektor lain seperti perkebunan dan manufaktur. Hermono menambahkan bahwa Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
Beberapa perusahaan Malaysia bahkan dikenai sanksi ekspor ke Amerika Serikat akibat tuduhan kerja paksa ini.
Sesuai catatan KBRI Kuala Lumpur, selama 2021 KBRI berhasil mengembalikan hak gaji PMI sejumlah RM2,166,890.63 atau lebih dari Rp 7 miliar milik 206 PMI sektor rumah tangga. Sementara untuk 2022 gaji 16 PMI yang berhasil diselamatkan mencapai RM 337.270.
Data ini belum termasuk penyelesaian kasus gaji oleh Konsulat Jenderal dan Konsulat Indonesia di Malaysia.
Hermono meyakini sebenarnya masih banyak PMI di Malaysia yang menjadi korban kerja paksa, hanya masalahnya tidak semua PMI dapat melaporkan ke Kedutaan dengan berbagai alasan, seperti tidak diizinkan berkomunikasi dan ancaman ditangkap aparat karena tidak memiliki visa kerja yang sah.
“Praktik kerja paksa sudah berlangsung bertahun-tahun”, tegas Hermono.
Sumber : Liputan6
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’