Serombongan WNI pelaku perjalanan luar negeri tiba di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada awal Desember 2021. Pesawat yang membawa mereka dari Turki itu tiba di Indonesia pukul 18.00 WIB.
Adinda (56 tahun) bergegas menuju posko pemeriksaan dokumen. Saat menuju pos kesehatan bandara, langkahnya terhenti karena ia beserta rombongannya belum memiliki kamar hotel untuk karantina.
“Saya kira bisa di Wisma Atlet. Ternyata tidak bisa karena kami bukan PMI, bukan pelajar, bukan PNS juga. Jadi kami disuruh cari hotel karantina,” kata Adinda saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (23/12).
Beberapa tempat isolasi terpusat yang tersedia di Jakarta adalah RSDC Wisma Atlet Pademangan, Rusun Pasar Rumput, dan Rusun Nagrak. Berdasarkan ketentutan pemerintah tempat isolasi terpusat ini khusus untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar yang studi di luar negeri, dan PNS yang berdinas keluar negeri.
Sementara di luar kriteria itu, WNI pelaku perjalanan internasional mesti karantina mandiri di hotel yang ditetapkan pemerintah.
Meski lebih dari dua pekan peristiwa itu telah berlalu, Adinda masih mengingat jelas. Rasa cemas tak bisa dapat hotel karantina hingga kelelahan saat itu bercampur aduk.
Perjalanan pesawat dari Turki-Indonesia membutuhkan waktu 12 jam. Setibanya di Indonesia, Adinda ternyata masih harus mencari hotel karantina.
“Kira-kira kami nunggu 6 jam, tiba di Indonesia pukul 18.00 WIB, kemudian baru pukul 23.00 WIB dapat hotel, pukul 12.00 WIB dijemput taksi hotel,” kata Adinda.
Rekan serombongan Adinda, Lidayati (bukan nama sebenarnya) mengaku kesulitan mencari hotel karantina setibanya di Indonesia.
Ketika tahu tak bisa menjalani karantina di Wisma Atlet, Lidayanti bergegas membuka ponsel pintarnya untuk mencari hotel karantina. Namun tak ada hotel karantina yang kosong saat itu.
“Kan agak cemas juga ya, enggak ada hotel kosong padahal harus karantina di hotel,” ujarnya.
Selain cemas tak dapat hotel karantina, baik Lidayanti dan Adinda juga khawatir, karena harus mengikuti karantina 10 hari jika tak mendapat hotel sampai 3 Desember.
Kebijakan karantina awalnya hanya berlangsung 7 hari, namun diperpanjang pemerintah pada 2 Desember karena potensi penularan Covid-19 varian Omicron.
“Jadi kalau kami waktu itu enggak dapat hotel sampai jam 12 malam, karantina jadi 10 hari, makin lama, harganya juga makin mahal,” kata Lidayanti.
Ketakutan Adinda dan Lidayanti pudar setelah diberitahu mendapatkan kamar hotel karantina pada pukul setengah sebelas malam.
Lidayanti dan Adinda ditawari petugas untuk membayar sejumlah uang agar bisa menempati hotel karantina pada malam itu. Saat Lidayanti mengecek kamar hotel karantina di laman website resmi, hotel yang dituju itu tak menyertakan ketersediaan kamar.
Keduanya tak menunjukkan kecurigaan pada petugas bandara tersebut sebab memakai seragam bandara resmi. Dan, mereka melihat memang sejak awal kedatangan petugas itu sudah berada di pos kesehatan.
Menurut pengakuan Lidayanti, petugas tersebut memastikan bahwa ada kamar hotel yang tersedia dan memang difungsikan sebagai tempat karantina. Hanya saja belum diperbarui dalam sistem.
“Awalnya petugas nawari Rp12 juta untuk satu kamar isi dua orang, kemudian kami nego sampai setuju di angka Rp9,8 juta berdua,” ujar Lidayanti.
Biaya tersebut sudah termasuk biaya PCR dua kali, menginap 7 hari, makan 3 kali sehari, laundry, dan taksi dari bandara menuju hotel. Tak pikir panjang, kedua perempuan itu kemudian setuju untuk karantina di hotel tersebut.
“Baru sampai hotel itu jam setengah dua subuh, hotelnya di Jakarta Pusat,” kata Adinda.
Keduanya kini telah menjalani karantina 7 hari dan dinyatakan negatif Covid-19 pada hari terakhir karantina.
Sumber : CNN Indonesia
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’