Pasangan suami istri Arif Hidayat (37 tahun) dan Tri Amelia (36 tahun) sukarela mengajarkan Bahasa Mandarin untuk anak-anak maupun ibu-ibu di desanya.
Pandemi virus Corona (COVID-19) membuat pasutri yang bekerja di China ini pulang untuk membangun desanya.
Tak hanya itu, kedua pasutri ini juga memberdayakan para ibu-ibu di desanya untuk membuat masker fesyen.
Masker-masker buatan warga Desa Sendang, Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang itu pun dijual via online dan dikirim ke luar negeri.
“Kita pulang ke Indonesia pada Febuari 2020 lalu, karena di sana pandemi Corona. Kita mengajar ke mahasiswa sana sebelumnya, hanya lewat online setelah kita pulang ke sini,” kata Arif Hidayat, saat ditemui detikcom, di rumahnya, Batang, Senin (16/11/2020).
Arif dan istrinya bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di Provinsi Hainan, China sejak 2011 lalu. Keduanya mengajar bahasa Indonesia di universitas tersebut.
Selama pandemi Corona ini, keduanya memutuskan pulang ke rumahnya di Batang. Selama beberapa waktu di rumah, keduanya lalu terpantik ide untuk membagikan ilmu tentang bahasa dan budaya Mandarin untuk para tetangga dan warga di kampungnya.
“Kita menggagasnya, sudah lama sejak pulang ke sini. Selama ini, saya kan mengajar Bahasa Indonesia ke para mahasiswa di sana. Kalau di kampung kita ingin warga sini terutama anak-anak dan pemuda agar lihai berbahasa Mandarin. Apalagi Kabupaten Batang, sebentar lagi ada Kawasan industri Terpadu (KIT),” jelasnya.
Akhirnya keduanya memutuskan untuk membuka kelas belajar bahasa Mandarin gratis bagi anak-anak, remaja, hingga ibu-ibu. Kegiatan ini pun sudah berlangsung selama dua pekan.
“Ini sudah berjalan dua mingguan. Tapi sebelumnya niatan kami memang ingin menularkan pengetahuan bahasa kami ke warga sini,” tambah Tri Amelia.
Tri berharap warga kampungnya bisa fasih berbahasa Mandarin. Terlebih, Kabupaten Batang sudah digadang-gadang menjadi kawasan industri terpadu (KIT) yang menjadi incaran pabrik asal China.
“Sehingga kesempatan kerja dengan mereka, akan semakin tinggi dengan penguasaan bahasa Mandarin. Dan kalaupun menjadi TKI, bukan hanya sekedar buruh migran, namun bekerja di sektor lain degan bayaran yang tinggi,” tuturnya.
“Jadi pandemi (Corona) ini membawa hikmah bagi kami. Ketika kami kembali ke sini, kita tidak ngapa-ngapain akhirnya berpikir untuk ikut memberikan pengetahuan kami ke warga sini,” tambah Tri Amelia.
Kegiatan belajar Bahasa Mandarin ini pun diajarkan dengan cara bermain sehingga diharapkan anak-anak bisa lebih mudah mengerti.
“Kalau suami yang mengajarkan bahasanya, dia kebetulan S2-nya d isana juga jurusan bahasa, sedangkan saya soal budayanya,” katanya.
Selain mengajar Bahasa Mandarin, pasutri ini juga mengajak para ibu di desanya untuk memproduksi masker premium. Masker itu dihias dengan manik-manik dan dijual lewat online.
“Ini kita buat masker dari kain tapi juga dengan aksesoris-aksesoris dan juga detail fesyennya, sehingga jika orang itu ada keperluan tertentu seperti pesta atau lainnya juga bisa dipakai gitu. Kita sesuai dengan standar kesehatan walaupun ini sebagai masker alternatif tetapi juga dilapisi dengan kualitas yang baik dan juga tetap tiga lapis bahan seperti itu,” jelasnya.
Pasutri di Batang ajarkan Bahasa Mandarin gratis sepulang dari China. Pasutri ini juga memproduksi masker premium dan dijual online ke luar negeri.
Ide berjualan masker itu pun berawal dari postingan di media sosial. Dari situ, kini dia bisa mengirimkan 500 pcs masker dalam sebulan dengan harga satuan Rp 30 ribu.
“Kalau untuk ekspor keluar negeri awalnya juga dari temen yang liat postingan kemudian suka dan minat. Dari itu dia minta contoh, dari situ permintaan terus,” ungkapnya.
Sementara itu, salah seorang anak yang belajar bahasa Mandarin di rumah Tri Amelia, Ardiansyah Hasan (11 tahun) mengaku sudah tiga kali mengikuti kelas. Hasan pun mengaku senang bisa belajar bahasa asing baru.
“Ini sudah ketiga kalinya belajar. Ya susah-suah gampang. Saya suka bahasa Mandarin, makanya saya belajar. Ya, saya sudah bisa memperkenalkan diri dengan bahasa Mandarin,” kata Ardiansyah.
Sumber : Detik
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’