Sebesar apapun kesalahan dan dosa kita, jangan pernah menyerah untuk bertobat. Yakinilah, selalu ada rahmat Allah yang membuat kita lebih baik.
Seorang ulama ahli zuhud berkata: “Barangsiapa yang melakukan dosa dan ia dalam keadaan tertawa (senang) ketika melakukannya maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memasukan ia ke dalam Neraka dalam keadaan menangis dan barang siapa yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala ia menangis (takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala) maka Allah akan memasukannya ke dalam Surga dalam keadaan tertawa (bahagia).”
Sekecil apapun dosa yang kita lakukan, disana ada robul izzati yang selalu memberikan kita ampunan. Kesalahan apapun yang tak luput dari diri kita, disana Allah Subhanahu Wata’ala selalu memberikan maafnya.
Dosa sebesar apapun jika seoarang hamba mengakuinya dan bertobat kepada Allah Subhanahu Wata’ala niscaya Allah Subhanahu Wata’ala akan mengampuninya, dan begitupun dosa kecil pasti Allah akan mengampuni dosa tersebut.
Perlu diketahui, banyak manusia lalai akan dosa kecil sehingga ia lupa untuk meninggalkannya dan terus menerus ia melakukannya.
Satu peribahasa mengatakan: “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.” Peribahasa ini yang banyak di lupakan orang, padahal semenjak kita duduk di bangku sekolah dasar sang guru selalu mengajarkan kita akan peribahasa ini, banyak manusia tak sadar bahwa di balik peribahasa tersebut tersimpan edukasi nilai spiritual yang sangat tinggi, nilai keimanan dan ketaqwaan yang begitu eksplisit mengajarkan dan menuntun manusia pada jalan yang lurus.
Bukan hanya peribahasa yang mengigatkan kita akan dosa kecil dan besar, jauh sebelum lahirnya peribahasa tersebut ulama-ulama ahli hikmah pun begitu gencar mengingatkan manusia akan dosa-dosa tersebut.
Seperti dikemukan para ahli hikmah: “tak ada dosa kecil jika tak di lakukan terus menerus dan tak ada dosa besar bersama dengan adanya istigfar (meminta ampunan)”.
Kata “alishror” disini dapat kita interpretasikan sebagai muwazhobah atau adanya indikasi melakukan dosa kecil terus menerus hingga menjadi besar.
Jauh sebelum berkembangnya para sastrawan pelopor peribahasa Indonesia, ayah kitab kuning Indonesia Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar Albantani Aljawi mengemukakan perspektif beliau melalui karyanya yang monumental yaitu kitab Nasaihul Ibad, beliau menyatakan :
“Sesungguhnya dosa kecil tersebut jika dilakukan secara bersinambung (muwadzobah) akan membesar dan menjadi dosa yang besar, dan jika hanya didasari ambisi semata pun untuk terus menerus melakukan dosa kecil, pada hakekatnya itu sudah menjadi besar sesungguhnya niat seseorang untuk bermaksiat itu sudah dikatagorikan maksiat.”
Adakah Rahmat Allah?
Banyak manusia terdahului oleh rasa pesimisnya di banding rasa optimisnya, perasaan manusia seperti ini merupakan akar masalah munculnya sikap sinis dan skeptis dalam diri manusia, dimana mereka hanya memandang kegagalan di banding kesuksesan, terikat pesimisme daripada optimisme.
Akhirnya akan bermuara pada penyakit skeptisisme manusia yang mempertanyakan adakah rahmat Allah Subhanahu Wata’alabagi saya? Akankah Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa saya?
Itulah salah satu penyakit manusia yang selalu bersemayam dalam hatinya, selalu dihantui rasa keragu-raguan, dan selalu dihantui rasa ketidak pastian.
Penyakit ini awal mulanya dipicu dari rasa pesimis akan rahmat Allah Subhanahu Wata’ala dan muncul akibat kuman dalam hati manusia yaitu kuman bisikan setan, bisikan ini bermuara dalam hati manusia dimana setan begitu gencar menyebar virus kesesatannya secara inklusif yang berujung pada hegemoni setan dalam diri manusia.
Allah Subhanahu Wata’ala nyatakan dalam firmannya: “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah swt. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’alamengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).
Dalam tafsir Ibn Katsir, beliau meninterpretasikan ayat tersebut: “Ayat yang mulia ini merupakan dakwah (ajakan) kepada semua orang yang bermaksiat baik dari kalangan kafir maupun selainnya untuk bertaubat kepada allah swt, dan merupakan khobar (pemberitaan) sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’alamengampuni seluruh dosa bagi siapa saja yang bertobat dan kembali padanya dari dosa tersebut, sekalipun dosa itu sudah seluas lautan. Dan tidak sah mengartikan ayat ini pada selain taubat; karena syirik (menyekutukan) Allah Subhanahu Wata’alati dak akan diampuni bagi orang yang tidak bertaubat dari kesyirikan tersebut.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda dalam hadistnya: “Pendosa yang selalu mengaharap rahmat Allah Subhanahu Wata’ala itu lebih dekat kepada Allah dibanding hamba yang putus asa akan rahmat Allah.”
Sejatinya, sebagai seorang muslim haruslah pantang menyerah dari rahmat Allah Subhanahu Wata’ala. Sebesar apapun kesalahan kita, sebesar apapun dosa kita, jangan pernah menyerah untuk bertobat dan mengakui kesalahan kepada Allah.
Disana ada dzat yang maha pengampun dan pemaaf. Inilah obat yang Allah berikan kepada hambanya agar selalu berkeyakinan adanya rahmat Allah.
Sebagai contoh, Allah Subhanahu Wata’ala mengampuni para pelaku dosa besar dengan taubatnya ; dalam kasus kriminal pembunuhan terhadap sesama muslim walaupun ia dianggap fasik dan perkaranya merupakan hak veto Allah dikehendakinya untuk diampuni atau di azab serta mendapatakan hukuman qishos, namun jika ia bertaubat dengan sebenar benarnya dan dengan seluruh syarat taubat Allah Subhanahu Wata’ala akan menerima taubatnya.
Perspektif Ini merupakan konsensus mayoritas ulama dari mazhab Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan beberapa perspektif ulama malikiyah serta Zaidiyah.
Landasan hukum mayoritas ulama ini berdasarkan pada firman Allah Subhanahu Wata’ala: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengannya, dan ia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS: an-nisa 116).
Walaupun disana masih terjadi benturan perbedaan perspektif ulama menyikapi pertaubatan seorang pembunuh antara diterima atau tidaknya, namun konsensus mayoritas ulama menyatakan diterimanya pertaubatan seorang pembunuh.
Logikanya, bertaubat dari dosa besar sekaliber pembunuhan saja Allah Subhanahu Wata’ala menerimanya apalagi bertaubat dari dosa kecil pasti Allah akan menerimanya.
Kegagalan
Penyakit kedua pada diri manusia selain merasa jauh dan putus asa dari rahmat Allah adalah merasa gagal.
Sejatinya, sebagai seorang muslim ketika ia diterpa dosa dan kesalahan janganlah langsung merasa gagal dalam menjalani hidup, namun tetap berkeyakinan adanya rahmat Allah Subhanahu Wata’ala, Dan terus memberanikan diri melangkah menjalani hidup yang lebih baik.
Rehabilitasi Hati
Patut kita sadari, selaku manusia yang tak luput dari dosa dan merasa dirundung rasa putus asa dan kegagalan akan rahmat Allah Subhanahu Wata’ala mengahantarkan manusia pada rasa sinis dan skeptis, berpandangan pesimis dan negatif, tak mampu melangkah menuju jalan yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika ia yakin akan rahmat Allah sebesar apapun dosa yang dilakukannya ketika ia bertobat pasti Allah akan mengampuninya dan menerima pertaubatannya.
Dibalik pertaubatan seorang hamba ini, ada hikmah yang luar biasa didalamnya yaitu perbaikan dan pemulihan hati (rekonsiliasi hati), kenapa demikian? Karena, dengan taubatnya seorang hamba dan pengakuannya akan dosa yang ia lakukan berniat untuk tidak melakukan kembali akan memghadirkan ketenangan hati dan mendekatkannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak sedikit kisah yang kita dengar dari pertaubatan seorang hamba akan dosa-dosanya yang kemudian menjadikan ia sebagai hamba yang mulia, hamba yang begitu dekat dengan Allah. Dalam kitab Nasaihul Ibad dikatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan dosa maka hatinya akan lembut”.
Dengan kita bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa Allah akan memberikan kelembutan hati kepada kita, selalu ingat akan perintah dan larangannya, dan akan menjadikan kita hamba yang begitu dekat dengan Allah Subhanahu Wata’ala.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai hambanya yang selalu berkeyakinan penuh akan rahmatnya, selalu diampuni akan setiap keasalahan dan dosa kita , serta dijadikan hambanya yang selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Wallahu a’lam bishowab. Semoga bermanfaat.
Sumber : Perjalanan Hijrah, Hidayatullah
Berita Terkait
Umat Muslim Lebih Dari 30 Negara Datang Ke Masjid Agung Taipei Untuk Merayakan Ramadhan
Restorasi Al-Qur’an Berusia 500 Tahun Telah Selesai
6 Tips Berpuasa di Hari Pertama Ramadhan