Sebuah keluarga di Desa Balansiku, Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, ditemukan hidup memprihatinkan di tengah kebun sawit. Keluarga itu memiliki empat orang anak, R (7 tahun), S (5 tahun), I (3 tahun), dan Sup (1 tahun) yang diasuh sang ibu, Rosnaeni.
Rosnaeni ternyata adalah eks Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hal itu membuat Rosnaeni tidak bisa merawat anaknya dengan wajar.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kabupaten Nunukan, menemukan mereka dalam kondisi mengenaskan.
Anak-anak tersebut tumbuh tanpa diajarkan apapun, seperti nama-nama benda, abjad, angka, dan sebagainya.
Bahkan sang anak tertua tak mengerti apa itu pensil dan cara menggunakannya. Ibunya hanya bisa menanak nasi dan memasak sayur. Mereka pun tak tahu bahwa ada makanan lain seperti lauk pauk, ayam, tempe maupun ikan.
Saat petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kaltara dan Puskesmas Balansiku memberi makan sayur asem dan ikan, mereka hanya memakan sayurannya.
“Kami coba suapkan ikan supaya dia rasa, begitu terasa enak, baru dia makan. Begitu juga jagung, kita suapkan dulu dan akhirnya mereka makan, sampai segitunya, mereka tidak tahu ikan goreng,” kata Kepala Dinas DPPPAPPKB Nunukan Faridah Aryani, pada hari Jumat (23/10/2020).
Rosnaeni juga tidak pernah peduli dengan tingkah anaknya. Bahkan Rosnaeni tidak bisa mengurus dirinya sendiri, sampai-sampai dia pernah tidak mandi selama setahun.
Pantas saja kondisi tempat tinggal mereka berantakan. Pakaian kotor dan bersih ditumpuk jadi satu. Makanan anaknya pun dibiarkan berceceran di mana-mana.
“Awalnya ada laporan ke kami di DPPPA pada akhir 2019, ada keluarga yang tidak tahu cara mengurus anak, pampers si anak sampai berulat, sehingga kami fokus untuk itu,” ujar Faridah.
Dengan kondisi seperti itu, anak-anak mereka mengalami gizi buruk. Mereka tidak pernah mendapatkan asupan protein.
Ayah mereka, Herman, pun tidak bisa memberikan makanan yang layak karena penghasilan yang pas-pasan. Sebagai buruh tombak sawit, Herman dibayar Rp 150 ribu per ton. Sebulan dia biasanya dua kali menombak sawit. Beruntung bosnya menyediakan beras secara rutin untuk keluarga Herman.
Dari pemeriksaan psikolog, Rosnaeni mengaku sebagai istri ketujuh Herman. Jarak usia mereka cukup jauh, yaitu Herman 52 tahun dan Rosnaeni 26 tahun. Mereka menikah saat sama-sama menjadi TKI ilegal di Malaysia.
Pihaknya juga belum tahu penyebab Rosnaeni sampai mengalami depresi berat. Namun menurut informasi, Rosnaeni merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Dari hasil obrolan psikolog, ibunya anak-anak ini istri ketujuh, kita juga belum tahu apakah Herman ini maniak atau bagaimana. Info yang kita dapat ini perkawinannya yang ketujuh, istrinya mengaku sering kena pukul, bisa jadi itu salah satu sebab dia depresi,” tuturnya.
Cobaan lain juga dialami Rosnaeni, yakni ketika anak ketiganya meninggal dunia dalam usia belum genap setahun. Riwayat medisnya juga menunjukkan pernah mengalami kondisi darah putih naik saat melahirkan.
“Jadi kalau darah putih naik ke kepala saat perempuan melahirkan itu bisa mengakibatkan buta atau meninggal dunia, kemungkinan itu juga masih kami dalami,” lanjut dia.
Sejak 2019, petugas sebenarnya sudah mulai melakukan penanganan kepada keluarga itu, namun terhenti karena pandemi Covid-19. Kini petugas mulai mengembalikan kepercayaan diri Rosnaeni dan meyakinkan bahwa dirinya dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Selain itu, sikap Herman juga menjadi kendala petugas menyembuhkan depresi istrinya. Awalnya, Herman setuju tentang penyembuhan istrinya. Tetapi saat Rosnaeni mulai dipotong rambut gimbalnya dan dibersihkan, Herman tiba-tiba menolak.
“Dia diam saja saat ditanya, dia ambruk, badannya dibuatnya kaku. Saat diangkat petugas pun dia bikin badannya tegang supaya susah diangkat. Akhirnya kita batalkan karena untuk membawa Rosnaeni butuh persetujuan suami. Kita takutnya nanti suaminya berbuat yang aneh-aneh atau bunuh diri,” sebutnya.
Pemerintah desa setempat juga telah berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk pembuatan kartu identitas.Bahkan kini banyak lembaga sosial yang turut membantu keluarga tersebut.
Sementara dua anak mereka, R dan S mulai dititipkan ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Ruhama untuk bersekolah. Ternyata mereka betah dan tidak mau pulang.
“Untuk dua anak lainnya masih harus sama ibunya, rencananya akan kami bina dan konseling di RPTC. Makanya, kita lagi usaha merayu suaminya agar menyetujui pengobatan istrinya, sampai sekarang kami masih kesulitan,” kata Faridah.
Sumber : Kompas
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’