Perjalanan membatik Agus Ismoyo, seniman kelahiran Yogyakarta, menjadi semakin berwarna ketika berkolaborasi dengan suku Aborigin-Australia kurang lebih 30 tahun yang lalu.
Agus bersama istrinya yang bernama Nia pertama kali bertatap muka dengan suku Aborigin di Melville Island dan Daly River, dua daerah di Australia Utara di tahun 1989.
Menurutnya, mereka adalah “orang kedua” yang memperkenalkan batik setelah sebelumnya diperkenalkan pada tahun 1977 silam.
Ketika itu, mereka mengajarkan cara membatik pada suku Aborigin yang banyak menggunakan titik dan garis dalam ekspresi seni mereka.
“Jadi pada dasarnya, di sana bukan punya tradisi batik. Itu dari kami. Dan cara membatiknya pun walaupun dapat dari kami, mereka tetap punya ‘style’ (gaya) tersendiri,” kata Agus.
Berbeda dengan pembatik Indonesia yang menggunakan canting, mereka lebih suka menggunakan kuas dan tidak terbiasa menggunakan gawangan.
“Mereka lebih senang kain itu diletakkan di kaki sebelah kiri dan kanan kainnya, lalu kakinya dilonggarkan, (sehingga) kainnya menjadi kaku dan menggunakan kuas.”
Motif batik suku Aborigin yang mirip dengan Indonesia dalam bentuk flora dan fauna menimbulkan kenyamanan dalam diri Agus untuk berkolaborasi.
“Motifnya membuat saya merasa dekat sekali dengan kita. Jadi mengalir, karena kami membuat kolaborasinya dengan cara yang sangat alamiah,” kata Agus.
Kendala bahasa menurutnya bukan masalah karena proses keseniannya terwujud dari kepekaan terhadap “hukum” yang dipercayai suku tersebut.
“Yang menjadi unik, seni sebagai bahasa yang dengan pikiran bisa dirasakan … jadi saya tidak dengan ‘meeting’, tetapi saya melakukan tata cara kehidupan dia,” tuturnya.
“Saya ikut berburu di hutan, upacara … jadi saya bisa langsung mendapatkan motif dari sumber daya alam (di sana) dan menjadikannya motif tertentu.”
‘Workshop’ dan kolaborasi Agus bersama suku Aborigin terus berlanjut hingga tahun 2005 di beberapa kawasan Australia lain, seperti Utopia dan Ernabella.
Sementara itu, workshop batik juga masih diadakan dalam negeri, salah satunya di Museum Batik Yogyakarta yang sudah berdiri sejak tahun 1973.
Menurut Maria Carmelia yang bekerja di sana, latar belakang didirikannya museum tersebut adalah karena keprihatinan Hadi Nugroho dan istrinya, Dewi Sukaningsih di tengah “situasi ekonomi buruk”.
“Pada masa itu, batik mengalami kesedihan, di tengah situasi ekonomi yang buruk sekali, jadi hampir sama seperti sekarang ketika Covid-19 melanda,” ungkap Maria.
“Batik yang tadinya bernilai sangat tinggi menjadi turun karena orang menjadi tega untuk memotong kain batik dan diolah menjadi berbagai macam barang yang lebih lancar komoditasnya.”
Akhirnya, pasangan tersebut mengumpulkan koleksi batik yang mereka miliki dan membuka museum yang diresmikan enam tahun setelahnya.
Hingga saat ini, museum yang memiliki beragam koleksi batik dari daerah di Yogyakarta dan sekitaran Jawa tersebut memiliki beberapa kegiatan seperti pameran, pelatihan, dan toko batik.
Sumber : ABC Australia News
Berita Terkait
Wabah Pneumonia di China: Rumah Sakit Penuh
Topan Khanun Tiba, Warga Korea Utara Diminta Utamakan Jaga Foto Kim Jong Un
Taiwan Mempertimbangkan Untuk Mempekerjakan Lebih Banyak Pekerja Filipina Sampai Menawarkan Tempat Tinggal Permanen!