Diplomat perwakilan Indonesia, Silvany Austin Pasaribu menarik perhatian dalam Sidang Umum PBB saat menggunakan hak jawabnya, terhadap tuduhan Vanuatu tentang pelanggaran HAM di Papua.
Perdana Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman sebelumnya telah mengungkit isu pelanggaran HAM Papua di dalam Sidang Umum PBB.
“Sangat memalukan bahwa satu negara ini terus-menerus memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau menjalankan pemerintahannya sendiri,” ujar Silvany pada awal pidatonya, yang dilansir dari Youtube PBB pada Sabtu (26/9/2020).
“Terus terang saya bingung bagaimana bisa suatu negara mencoba untuk mengajar negara lain, sementara kehilangan inti dari seluruh prinsip dasar Piagam PBB,” lanjutnya.
Silvany mengatakan bahwa tuduhan pemerintah Vanuatu sudah tidak menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara Indonesia.
Di ruang sidang yang dihadiri perwakilan dari berbagai negara di dunia, Silvany menegaskan bahwa Indonesia dengan sadar berusaha mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, di mana setiap individu memiliki hak yang sama di bawah hukum.
Indonesia terdiri lebih dari ratusan suku bangsa yang beragam dan multikultural, dengan ribuan suku, ratusan bahasa daerah yang tersebar di lebih dari 17 ribu dan 400 pulau, berkomitmen terhadap hak asasi manusia.
“Kami menghargai keragaman, kami menghormati toleransi dan setiap orang memiliki hak yang sama di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini,” tandasnya.
Ia juga mengutip kata-kata Presiden Indonesia, Joko Widodo saat memberikan pidatonya di Sidang Umum PBB, beberapa hari lalu, untuk melakukan pendekatan “win-win solution” untuk menjalin hubungan antar negara.
“Memang seruan seperti itu digaungkan oleh para pemimpin dunia sepanjang pekan ini, tetapi negara ini memilih yang sebaliknya,” ucapnya.
“Pada saat krisis besar kesehatan dan ekonomi, mereka lebih memilih untuk menanamkan permusuhan serta menabur perpecahan dengan memandu advokasi mereka untuk separatisme dengan perhatian masalah hak asasi manusia yang berlebihan,” lanjutnya.
Balas kritik
Silvany balik mengkritik pemerintah Vanuatu, bahwa pemerintah Vanuatu sendiri tidak terlihat komitmennya untuk menghapuskan diskriminasi rasial, dengan belum menandatangani konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial untuk semua orang.
“Jadi, sampai Anda melakukannya (berkomitmen menghapuskan diskriminasi rasial), mohon simpan khotbah untuk diri Anda sendiri,” lontar Silvany.
Ketika pemerintah Vanuatu bahkan tidak menandatangani kovensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang menjadi instrumen inti hak asasi manusia, kritikannya terhadap hak asasi manusia di Papua, Indonesia, menjadi dipertanyakan.
“Hal ini justru menimbulkan pertanyaan apakah mereka (pemerintah Vanuatu) benar-benar peduli dengan kepedulian masyarakat adat,” sindir Silvany.
Orang Papua adalah orang Indonesia, yang mana ia menyebutkan bahwa semua berperan penting dalam pembangunan Indonesia, termasuk di Papua.
“Anda bukanlah representasi dari orang Papua. Dan berhentilah berfantasi menjadi satu,” ucapnya.
Kemudian, Silvany mengatakan bahwa kritik pemerintah Vanuatu kepada Indonesia mengarah pada advokasi saparatisme yang berkelanjutan, yang disampaikan dengan kedok kepedulian hak asasi manusia artifisial.
“Prinsip piagam PBB yang tampaknya tidak dipahami Vanuatu, menetapkan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial,” ujarnya.
Provinsi Papua, dan Papua Barat merupakan bagian Indonesia yang tidak dapat ditarik kembali sejak 1945.
“Hal ini juga telah didukung dengan tegas oleh PBB dan masyarakat internasional beberapa dekade yang lalu. Dalam final ini tidak dapat diubah dan permanen,” pungkasnya.
Sumber : tvOneNews, Kompas
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’