India, rumah bagi 1,3 miliar orang dan memiliki beberapa kota paling padat di dunia, telah mencatat lebih dari 5,4 juta kasus COVID-19, menjadikannya negara dengan jumlah kasus corona terbanyak nomor dua, setelah Amerika Serikat.
Pasca pemberlakuan kebijakan lockdown pada Maret lalu yang menghancurkan mata pencaharian puluhan juta orang, Perdana Menteri India Narendra Modi enggan meniru beberapa negara lain dan kembali memperketat aktivitas masyarakat.
Namun sebaliknya dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah India justru telah mengurangi sejumlah pembatasan termasuk arus transportasi kereta, penerbangan domestik, pasar, restoran, dan sekarang memperbolehkan warganya untuk dapat mengunjungi Taj Mahal.
“Begitu banyak orang kehilangan pekerjaan mereka selama kebijakan lockdown diberlakukan. Orang-orang sangat menderita dan inilah saatnya negara membuka akses perekonomian sepenuhnya,” kata pejabat bank Ayub Sheikh, saat mengunjungi Taj bersama istri dan bayi perempuannya.
“Kami tidak takut virus. Jika virus itu harus menginfeksi kami, itu akan terjadi,” kata Sheikh kepada AFP. “Tidak banyak orang yang sekarat sekarang. Kurasa virus juga tidak akan segera hilang. Kita harus terbiasa sekarang,” tambahnya.
Pengawasan ketat
Makam marmer putih yang menakjubkan di Agra selatan New Delhi adalah situs wisata paling populer di India, yang mampu menarik tujuh juta pengunjung setiap tahunnya. Dengan menerapkan aturan jaga jarak sosial yang ketat, pengunjung tidak diizinkan menyentuh marmer.
Bahkan, bangku terkenal di mana pengunjung duduk untuk berfoto – paling berkesan Putri Diana pada 1992 – telah dilapisi khusus sehingga dapat dibersihkan secara rutin tanpa menimbulkan kerusakan.
Pada Senin pagi (21/09), beberapa ratus pengunjung terpantau berada di dalam bangunan Taj Mahal. Personel keamanan mengingatkan semua orang untuk memakai masker. Jumlah pengunjung harian pun telah dibatasi, hanya 5.000 orang atau sekitar seperempat dari jumlah normal yang diizinkan untuk mengunjungi Taj Mahal.
“Virus corona ada di setiap negara,” kata pengunjung asal Spanyol, Ainhoa Parra kepada AFP. “Kami melakukan semua tindakan pencegahan virus selagi kami bisa,” tambahnya.
“Begitu banyak mata pencaharian bergantung pada Taj. Senang sekali melihat mereka bisa kembali berbisnis,” kata pejabat setempat Satish Joshi.
Sekolah dibuka kembali
Tidak hanya Taj Mahal, sejumlah sekolah juga diizinkan untuk melakukan kegiatan belajar secara tatap muka pada Senin (21/09), meski sebagian masyarakat menilai langkah tersebut sebagai terlalu berisiko.
Seperti salah satu sekolah pedesaan di negara bagian timur laut Assam misalnya, dari 400 siswa hanya delapan yang muncul di kelas pada Senin pagi (21/09).
“Saya siap jika putra saya ketinggalan satu tahun masa belajar karena tidak pergi ke sekolah, daripada mengambil risiko dengan mengizinkannya masuk kelas,” kata Nupur Bhattacharya, ibu dari seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun di selatan kota Bangalore.
Virus corona masih mengintai India
Sementara di daerah lain di India, terutama di daerah pedesaan di mana kasus infeksi melonjak, menjadi bukti bahwa imbauan pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih sering diabaikan daripada ditaati.
“Saya pikir tidak hanya di India tetapi di seluruh dunia, kelelahan akibat berbagai tindakan pembatasan yang diambil untuk mengurangi penyebaran virus corona, mulai terjadi,” kata Gautam Menon, profesor fisika dan biologi di Universitas Ashoka.
Banyak ahli mengatakan, meskipun India menguji lebih dari satu juta orang per hari, namun tes ini masih belum cukup dan jumlah kasus sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi. Hal yang sama berlaku untuk kasus kematian akibat COVID-19, yang saat ini mencapai lebih dari 86.000 kasus.
Sumber : FRANCE 24 English, AFP
Berita Terkait
Wabah Pneumonia di China: Rumah Sakit Penuh
Topan Khanun Tiba, Warga Korea Utara Diminta Utamakan Jaga Foto Kim Jong Un
Taiwan Mempertimbangkan Untuk Mempekerjakan Lebih Banyak Pekerja Filipina Sampai Menawarkan Tempat Tinggal Permanen!