Koalisi organisasi non-pemerintah (LSM) yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran menggelar unjuk rasa di Taipei pada hari Selasa (01/09/2020) untuk mendukung aksi pemberantasan perdagangan manusia.
Para pengunjuk rasa menuntut pemerintah Taiwan untuk meningkatkan hak-hak nelayan dan ABK migran menyusul dugaan pelanggaran yang terjadi di atas kapal penangkap ikan Taiwan.
Perwakilan dari sekitar empat LSM, berkumpul di luar Pusat Konvensi Internasional Yayasan Chang Yung-Fa Taipei, tempat Lokakarya Internasional 2020 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia diadakan, untuk mendesak pemerintah Taiwan memasukkan ABK migran masuk ke dalam undang-undang perburuhan Taiwan.
Kasus bendera kemudahan adalah praktik dimana sebuah kapal mendaftarkan dan mengibarkan bendera selain dari negara pemilik kapal untuk menghemat biaya pajak dan insentif fiskal lainnya.
Lennon Ying-dah Wong, direktur pusat layanan dan tempat penampungan bagi pekerja migran di bawah Asosiasi Pembantu Pekerja di Taoyuan, mengutip kasus Da Wang milik Taiwan, kapal penangkap ikan tuna yang berlayar di bawah bendera Vanuatu padahal kapal tersebut merupakan kapal nelayan Taiwan.
Akibat kasus penganiayaan pekerja migran di kapal tersebut, kini pemilik kapal sedang diselidiki oleh otoritas berwenang.
“Kapten kapal yang merupakan warga Taiwan sering melakukan pemukulan dan penganiayaan fisik kepada ABK migran saat kapal berlayar di laut lepas. Kami mendengar dari seorang korban bahwa hampir semua nelayan migran di kapal itu dipukuli,” kata Wong.
Badan Perikanan (FA) Taiwan juga merilis pernyataan pada tanggal 21 Agustus lalu yang menyatakan bahwa mereka telah merujuk kapal tersebut ke Kantor Kejaksaan Distrik Kaohsiung untuk penyelidikan lebih lanjut.
Sementara Wakil Direktur Jenderal FA Taiwan, Lin Kuo-ping juga mencatat bahwa akibat kasus bendera kemudahan, pengawasan terhadap kasus ini terbatas karena melibatkan otoritas asing.
Kapal Taiwan yang berlayar di bawah kasus bendera kemudahan sebenarnya adalah kapal Taiwan yang berpura-pura menjadi kapal asing, kata Wong.
“Setiap kali kami berbicara tentang kapal Taiwan yang berlayar di bawah bendera kemudahan, pemerintah kami dan Dinas Perikanan selalu mengatakan hal yang sama – itu adalah kapal asing dan tidak ada hubungannya dengan Taiwan. Saya ingin mengatakan dengan lantang dan jelas, hentikan omong kosong itu, “kata Wong.
Kekhawatiran tersebut digaungkan oleh petugas komunikasi Greenpeace Moffy Chen, yang mengatakan bahwa beberapa pemilik kapal Taiwan yang tidak bermoral mendaftarkan diri mereka di negara asing untuk menghindari hukum dan peraturan terkait kasus penganiayaan ABK migran di Taiwan.
Menurut laporan Yayasan Keadilan Lingkungan pada tahun ini, pelanggaran dan eksploitasi ABK migran kerap kali terjadi pada kapal penangkap ikan asal Taiwan. Dari 71 awak kapal dari 62 kapal yang diwawancarai, 24 persen mengatakan mereka mengalami pelecehan fisik, sementara 92 persen mengatakan mereka telah dipotong gajinya secara ilegal oleh majikan, kata Moffy Chen.
Sebagai tanggapan, Badan Perikanan Taiwan mengatakan bahwa Kementerian Tenaga Kerja Taiwan saat ini menganggap mereka yang bekerja di luar Taiwan tidak bekerja di dalam negeri dan karenanya, Undang-Undang Layanan Ketenagakerjaan Taiwan tidak berlaku bagi mereka.
Namun, hak dan kepentingan para nelayan dilindungi oleh Undang-Undang Perikanan Perairan Jauh, kata Dinas Perikanan Taiwan.
Oleh sebab itu sejumlah LSM yang mengaku prihatin dengan kondisi tindak kekerasan yang dialami oleh para ABK migran di kapal penangkap ikan asal Taiwan meminta pemerintah Taiwan segera mengambil langkah tegas untuk melindungi mereka.
Sumber : 公視新聞網, CNANews
Berita Terkait
GANAS: PMA harus berani lapor jika dapat perlakuan tidak pantas dari majikan
WDA: PMA hanya boleh kirim uang lewat lembaga remitansi resmi untuk hindari penipuan
Taifun Gaemi sebabkan 10 kematian, 2 hilang, dan 904 orang terluka di Taiwan