Peristiwa miris kembali datang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran yang tengah bekerja di Arab Saudi. Satu warga Ngunut, Tulungagung, DK dilaporkan oleh Human Trafficking Watch (HTW) sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking di negara minyak itu.
Saat ini kondisi DK dalam keadaan sakit, tetapi dipaksa untuk terus bekerja. “Punggung saya rasanya sakit sekali. Kalau buang air besar sering keluar darah,” tutur DK, saat dihubungi lewat WhatsApp.
Selama sakit, DK tidak bisa berobat. Dirinya hanya mengonsumsi paracetamol yang bisa diakses bebas untuk meredakan nyeri. Setiap hari, DK harus bekerja selama 10-12 jam.
“Mulai kerja pukul 3 sore, nanti pulangnya pukul 3 pagi. Jadi sudah tidak sesuai dengan janji,” sambung DK.
DK berangkat ke Arab Saudi bersama 2 rekanya pada Januari 2020 lalu. Mereka direkrut oleh seorang sponsor asal Desa Gilang, Kecamatan Ngunut.
Oleh sponsor yang merekrut, DK dan kawannya dijanjikan kerja mulai pukul 16.00 hingga 24.00. Namun dirinya harus bekerja selama 12 jam dan tidak dihitung lembur. Selain tidak menerima upah lembur, DK juga tak memperoleh libur.
Padahal sebelumnya DK dan kawan-kawan dijanjikan libur di hari Jumat. “Janji katanya tipnya banyak, internet gratis, bahan makanan murah, semuanya bohong,” keluh DK.
Selama bekerja di Arab Saudi, DK mendapat gaji di bawah upah minimum, sekitar 1.300 riyal. Padahal gaji terendah di Arab Saudi adalah 1.500 riyal Saudi. Gaji sebesar itu, menurut DK lebih baik kerja di Indonesia.
Tak tahan dengan kondisi ini, DK berencana ingin pulang. Namun keinginannya terkendala dengan dokumen yang palsu, seperti seperti perjanjian kerja (PK) dan visa. Visa yang dimilikinya sudah mati sejak 6 bulan lalu, ditambah dokumen PK bukan atas nama majikannya saat ini.
“Jadi majikan beli, istilahnya visa kosong ke orang lain. Kemudian diisi dengan nama saya,” ungkapnya.
Untuk bisa pulang, DK harus membayar ke majikannya sebesar 4.000 riyal Saudi. Uang itu digunakan untuk denda visa yang sudah mati dan menerbitkan exit visa. Majikannya tidak mau menanggung biaya itu dan meminta perusahaan pelaksana penempatan yang membayar.
“Majikan ini menunggu transfer dari perusahaan yang ada di Jakarta. Sejak 11 Agustus sampai sekarang belum dibayar,” ucap DK.
DK melanjutkan, dirinya tak sendiri. Ada 6 warga Tulungagung yang mengalami nasib serupa. Dua di antaranya sudah dipindah ke majikan lain, di sebuah toko roti. Sedangkan DK saat ini bersama dua orang lainnya yang sudah empat tahun bekerja dan tidak bisa pulang.
“Kondisinya sama, mau pulang dipersulit sama majikan,” pungkasnya.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi resmi dari BP2MI Tulungagung.
Sumber : JatimTimes
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’