Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, Indonesia harus mewaspadai datangnya gelombang kedua virus corona jenis baru penyebab Covid-19.
Hal tersebut disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, di Istana Bogor, Selasa (28/7/2020).
“Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya gelombang kedua, second wave, dan masih berlanjutnya sekali lagi ketidakpastian ekonomi global di tahun 2021,” kata Jokowi.
Menanggapi pernyataan Jokowi, pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono menilai, belum saatnya mengingatkan gelombang kedua.
Alasannya, saat ini Indonesia masih belum berhasil mengatasi gelombang pertama virus corona. “Tidak tepat. Puncak gelombang pertama saja belum terlihat,” kata Pandu saat dihubungi Kompas.com, Selasa (28/7/2020).
Menurut Pandu, pernyataan Jokowi mengesankan seolah Indonesia sudah berhasil mengatasi gelombang pertama. Kenyataannya, ia menilai, gelombang pertama belum terlewati.
Implikasi dari pernyataan tersebut, kata dia, bisa menjadi kontraproduktif dalam penanganan pandemi Covid-19 karena masyarakat terlena dan mengendorkan kewaspadaannya.
“Jadi masyarakat kan menerima informasi yang tidak jelas. Seharusnya mengajak masyarakat untuk terus waspada, ‘Kita harus waspada, jumlah kasus sekian, waspada, boleh keluar tapi pakai masker, waspada!’ Begitu kan seharusnya,” kata Pandu.
Ia memberikan masukan bahwa Presiden seharusnya memimpin langsung penanganan pandemi virus corona, dan tak membentuk komite atau gugus tugas baru.
Jika penanganan pandemi Covid-19 seperti saat ini, ia khawatir penambahan kasus akan terus terjadi hingga akhir tahun.
“Tiba-tiba hanya fokus di delapan provinsi zona merah. Jangan kayak gitu. Seharusnya semua wilayah Indonesia itu merah,” kata Pandu.
Pandu mengingatkan, kewaspadaan terhadap pandemi virus corona seharusnya tidak hanya terbatas di zona merah, tetapi semua wilayah di Indonesia. Perbedaan jumlah kasus satu daerah dengan daerah lain dinilainya karena jumlah testing yang terbatas.
Jika testing dilakukan secara masif dan angka positivity rate rendah, maka situasi bisa dikatakan lebih aman. Menurut dia, ada kesalahpahaman dalam memahami status pandemi. Seharusnya, indikator yang dilihat adalah positivity rate, bukan jumlah kasus.
“Kesalahpahaman itu risikonya besar sekali. Artinya kita mudah terlena, kecuali mungkin maksudnya memang membuat masyarakat terlena. Terus yang disebut harus bersiap-siap untuk gelombang kedua itu siap ngapain?” ujar Pandu.
Pandu mengkritisi, paradigma penanganan pandemi virus corona di Indonesia lebih berat pada kepentingan ekonomi. Hal ini terlihat dari dibentuknya Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang sebagian besar digawangi oleh menteri-menteri bidang ekonomi.
Sumber : KOMPASTV
Berita Terkait
11 Orang Pendaki Meninggal Dunia Akibat Erupsi Gunung Marapi
Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO
Pria Tewas Ditikam Setelah Berkelahi dengan Teman Sekamarnya karena Tidak Mengucapkan ‘Terima Kasih’