Widyastuti, berdasarkan keterangan akta lahir yang dia peroleh dari Panti Asuhan Kasih Bunda yang pernah menampungnya, dia lahir pada 6 November 1975. Sekitar usia lima tahun, Widya diadopsi ke Belanda. Sebuah angka yang diragukannya. Terlebih dari pihak panti asuhan juga terang-terangan mengatakan bahwa semua dokumen dirinya adalah palsu. Sampai sekarang, Widya masih belum tahu kapan sebenarnya dia lahir, di mana, dan siapa nama orang tua kandung dia yang sebenarnya. Hingga suatu hari, dia bergabung dengan sebuah komunitas bernama Mijn Roots, sebuah komunitas yang berisi orang-orang Indonesia yang diadopsi ke Belanda ketika masih bayi dan balita.
Widya, yang selama ini berpikir bahwa ‘kamu orang Belanda, kamu tidak perlu mencari tahu asal-usulmu,’ merasa tergugah terutama ketika dia mendengar kisah dari seorang teman bernama Yanien V yang secara keseluruhan memiliki latar belakang serupa dengan apa yang dialaminya. Widya mengaku bahwa program My Roots Foundation telah mengubah jalan pikirnya dan dia menyadari bahwa selama ini dia telah salah karena mencoba tak memedulikan dari mana asalnya.
Kepingan ingatannya begitu berserakan, Widya sulit menyatukan kenangannya secara rinci. Namun, kepingan-kepingan itu cukup menjalin sebuah cerita yang bisa dia susun untuk mengenali perjalanannya di masa lalu sebelum diadopsi oleh orang tua angkatnya di Belanda. Di dalam surat yang dia tulis untuk ibu kandungnya secara terbuka di media sosial dan dialih bahasakan oleh temannya Tazia Darryanto yang sudah setahun ini dikenalnya, Widya menulis sedikit kenangan yang dia punya dengan sang ibu.
Sebelum diadopsi, Widya ingat, dia pernah berlutut di hadapan Sultan di Keraton. Ingatan itu mengarahkan keyakinannya, bahwa dia mungkin lahir di Yogyakarta. Widya juga ingat dia pindah ke Metro, Lampung (berdasarkan informasi dari salah satu petugas panti asuhan bernama Utari). Untuk hal itu, dia berasumsi bahwa kepindahannya adalah program transmigrasi dari pemerintah. Di Metro juga, Widya ingat rumahnya sempat kebakaran. Pasca peristiwa itu, yang dia ingat adalah dia dan sang ibu pindah ke Jakarta.
Di ibu kota, Widya menceritakan kalau dia dan ibunya dipenjara sebentar. Dia tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Yang dia ingat, selepas dia dan ibunya dibebaskan, mereka hidup menggelandang di Jakarta. Dia ingat bagaimana sang ibu tetap memberinya perlindungan dan kehangatan selama mereka tidur di bawah jembatan, juga jalanan di beberapa lokasi di Kota Tua. Dia bahkan ingat, terkadang ibunya yang bekerja menitipkan dia pada seorang perempuan yang juga memiliki anak. Setelah ibunya pulang kerja, Widya ingat ibunya akan menjemput dan membawakannya makanan atau pun uang. Namun ada satu hal yang sangat dia sesalkan, Widya tidak bisa mengingat bagaimana wajah sang ibu.
Hingga suatu hari, Widya diminta sang ibu untuk ikut bersama Utari. Utari, seorang wanita Tionghoa yang bekerja sebagai salah satu petugas panti asuhan Kasih Bunda pun mengajak Widya kecil ke rumahnya yang masih menjadi bagian dari panti asuhan. Tentu saja, kala itu Widya tidak mengerti bahwa itu adalah pertemuan terakhir dengan sang ibu. Usai diajak pergi Utari, Widya selalu berpikir bahwa sang ibu akan menjemputnya seperti sedia kala. Sebuah harapan yang sampai saat ini tidak pernah terwujud.
Di Panti Asuhan Kasih Bunda, Widya yang terus memikirkan kapan dijemput sang ibu. Ia kerap dihukum karena sering mengompol, setidaknya itu yang dia tahu dari pihak panti asuhan. Widya juga ingat kondisi panti asuhan yang gelap dan bentuknya seperti asrama. Saat itu, satu hal yang Widya ingat adalah betapa dia sangat rindu dengan ibunya. Ingatannya pun bergulir. Pada Agustus 1979, Widya diadopsi ke Belanda. Sesampainya di sana, Widya mengalami demam, rupanya dia sakit tipes. Oleh orang tua asuhnya, dia dirawat di sebuah rumah sakit di Belanda. Dan, sejak itulah kehidupan barunya di Belanda dimulai.
Pada tahun 1991, Widya diantar orang tua angkatnya mengunjungi Panti Asuhan Kasih Bunda di Indonesia. Di sana, mereka menanyakan kemungkinan Widya bisa berjumpa dengan ibu kandungnya. Pihak panti asuhan mengatakan, ‘mudah saja’ untuk mengatur pertemuan tersebut. Tak lama, Widya dan ibu angkatnya dipertemuan dengan ‘keluarga asli’ Widya di Bandung. Keluarga itu terdiri dari seorang ibu, 3 adik tiri, seorang bibi yang kesemuanya tinggal bersama di rumah sang bibi. Sang ibu dikabarkan menikah lagi dan memiliki tiga anak dari hasil perkawinan itu. Namun, pertemuan itu membuat Widya ragu. Di dalam hatinya, Widya merasa pertemuan itu tidak menjalin sebuah hubungan yang kuat. Intuisinya mengatakan dia tidak punya ‘koneksi’ dengan sang ‘ibu’ yang dikabarkan menjadi ibu kandungnya itu.
Permasalahan kedua, pada pertemuan itu, Widya juga diberi surat oleh ‘ibunya’ dalam bahasa Inggris yang meminta uang kepada dirinya karena alasan sedang sakit. Di dalam surat itu juga tersemat nomor rekening sang ‘ibu’. Widya makin ragu, karena apa yang dia tahu, ibu kandungnya tidak bisa berbahasa Inggris. Lagi pula, menurut Widya surat itu tampak seperti direkayasa. Widya diberitahu sang ‘ibu’ untuk merahasiakan hal itu dari ibu angkatnya. Sayangnya, Widya yang sempat mengalami krisis diri dan kabur dari rumah orang tua angkatnya di Belanda, kehilangan beberapa dokumen seperti surat penting dari sang ‘ibu’ yang memiliki catatan alamat dan nomor rekening di Indonesia.
Semua dokumen adopsi Widya palsu, demikian ungkap Utari sebagaimana yang diingat Widya. Di dalam paspornya kini, Widya ditulis lahir di Jakarta. Di akta kelahirannya, dia tercatat lahir pada 6 November 1975.
Surat adopsi Widya mengatakan bahwa nama ibu Widya adalah Sunarti sementara ayahnya, Kartono di dalam keterangan itu dinyatakan telah wafat. Widya sendiri meragukan keabsahan dokumen tersebut sejak Utari mengatakan dokumen-dokumen adopsinya palsu. Kini, sebagai bentuk upaya pencarian terhadap ibu kandungnya, Widya membutuhkan dokumen transmigrasi dari Yogyakarta ke Lampung pada tahun 1979. Dokumen itu, berdasarkan ingatannya ketika pindah dari Yogyakarta ke Metro, Lampung. Widya juga akan mencari kembali ‘ibu’ dan 3 adik tirinya untuk tes DNA. Widya ingin memastikan kemungkinan-kemungkinan yang ada jika memang itu adalah ibu kandungnya meski intuisinya mengatakan tidak.
Ketika ditanya, apakah pengalaman Widya bisa jadi merupakan salah satu kasus dari sekian banyak peristiwa perdagangan anak, Widya mengiyakan. “Saya rasa ada kemungkinan besar bahwa ini (peristiwa saya) adalah perdagangan anak. Baiknya, dewasa ini di Indonesia kasus perdagangan anak sudah tidak terlalu buruk karena adopsi di Indonesia jarang dilakukan sementara masih banyak negara-negara lain yang melakukannya,” jawab Widya ketika diwawancari melalui Skype pada Selasa (16/6/2020) sekitar pukul 3.30 sore waktu Belanda.
Dia menambahkan, “Menurut saya, mengadopsi anak dari panti asuhan, memicu perdagangan manusia, memicu perdagangan anak. Jika Anda melihat beberapa negara lain seperti Colombia dan negara-negara di Afrika, hal itu masih terjadi.” Widya juga berpendapat, kasus yang menimpa dirinya adalah suatu tindak kekerasan. “Sebagai orang yang diadopsi, menurut saya, anak-anak yang dibawa pergi dan diputus dari tempat asalnya, adalah tindak kekerasan. Baik ketika masih bayi mau pun sudah besar, (adaptasi) akan selalu sulit dilakukan.” Widya mengaku, selama dirinya mengalami krisis identitas, dia merasa tidak berada dalam suatu kebudayaan setempat mau pun yang lainnya. “Rasanya diri saya seperti terpecah belah,” ujarnya.
Widya juga menceritakan kalau pada bulan Desember lalu dia pernah kembali mengunjungi Indonesia, “Suatu hal yang berat karena saya punya kenangan negatif di sana (Indonesia),” ujar Widya yang bisa berbicara lebih dari satu bahasa ini, Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis. “Tapi ternyata saya bisa bersenang-senang. Perjalanan saya untuk pertama kalinya lagi sejak 1991. Saya berjumpa banyak teman, di kantor saya juga saya punya banyak teman orang Indonesia.” Widya juga menceritakan bahwa dalam lima tahun terakhir, uniknya, dia mempelajari adat, budaya dan tradisi Indonesia. Ketika ditanya, apakah Widya suka dengan makanan Indonesia, “Saya memang sering makan Sandwich (khas Belanda) tapi saya sudah pasti lebih memilih masakan khas Indonesia. Saya suka makanan Indonesia,” tandasnya. Saat ini Widya tinggal di The Hague, Belanda bersama pasangannya. Dia terbuka untuk siapa pun yang ingin membantunya mencari ibu kandungnya melalui Twitter @Widyastuti2020.
Sumber : CNN Indonesia, Kompas
Berita Terkait
Wabah Pneumonia di China: Rumah Sakit Penuh
Topan Khanun Tiba, Warga Korea Utara Diminta Utamakan Jaga Foto Kim Jong Un
Taiwan Mempertimbangkan Untuk Mempekerjakan Lebih Banyak Pekerja Filipina Sampai Menawarkan Tempat Tinggal Permanen!